Part 1

2.5K 195 25
                                    

Jarum jam baru saja menunjuk angka lima. Ibu buru-buru menutup semua jendela kayu dan mengunci pintu. Biasanya, jendela akan dibiarkan terbuka sampai menjelang magrib.

"Ada apa, Bu? Masih sore begini sudah ditutup?"

Ayah melangkah ke ruang tengah dengan secangkir teh hangat di tangannya.

"Itu Pak, tadi kata Pak RT, Si Rumi kabur lagi dari pasungan."

Ibu bergidik. Sorot mata teduhnya tiba-tiba berubah. Sepertinya, Ibu benar-benar ketakutan.

"Memangnya Rumi pasti datang ke rumah kita, Bu?"

Aku duduk santai di sofa. Lelah juga seharian mengajar di sekolah.

"Hus! Jangan bicara sembarangan."

Ibu buru-buru melangkah ke dapur untuk memastikan pintunya telah terkunci. Langkahnya kadang terhenti ketika mendengar desiran angin menyentuh jendela.

"Hanya angin, Bu. Hahaha ...." Ayah mengusap pundak Ibu. 

"Duh, Bapak! Mengagetkan saja. Seneng ya bikin Ibu jantungan."

Ayah melirik ke arahku. "Namanya manusia pasti jantungan kan, Nduk?"

"Hahaha .... Iyalah kalau gak punya jantung, ya tidak bisa hidup."

Aku beranjak sambil menyeret tas punggungku dengan malas. Langkahku semakin berat saat mendekati pintu kamar. Terbayang kasur yang empuk dan bantal Doraemon yang nyaman.

Baru saja membuka pintu, tiba-tiba jendela kamarku tertutup dengan sendirinya. Tapi, tiba-tiba terbuka dengan kencang.

"Aaaa ... tidaaak." Aku buru-buru kembali ke ruang tengah.

***

Hujan turun dengan derasnya malam ini. Pantas saja tadi jendela kamarku terhempas dengan sendirinya. Angin memang bertiup lebih kencang dari biasanya.

Azan Isya baru saja berkumandang. Tapi, susana begitu senyap. Hanya terdengar dentuman hujan menimpa genting rumahku.

Ibu pun tidak lagi terdengar mengomel di depan TV. Biasanya, Ibu sibuk mengomentari sinetron yang sedang naik daun. Sampai Ayah harus menenangkan Ibu berkali-kali.

Tiba-tiba, aku ingat Rumi. Sahabat kecilku yang bernasib malang. Semua orang di desaku menganggapnya gila.

Awalnya aku tidak percaya. Bagaimana tidak, dia gadis populer di desa ini dengan segudang prestasi. Karena itulah, dia melanjutkan kuliah di kota dengan beasiswa.

Selesai kuliah, Rumi kembali ke desa dan diangkat menjadi sekretaris lurah. Ide-ide cemerlangnya membuat semua kagum padanya. Rumi benar-benar ingin merubah desa ini menjadi lebih baik.

Tapi, entah apa yang terjadi. Suatu malam Rumi dikabarkan menghilang. Paginya, Rumi kembali dengan wajah pucat dan lemah.

Semenjak itu, dia sering melamun dan menjerit tiba-tiba. Atas saran pak lurah, Rumi dipasung di belakang rumahnya.

Menurutku itu sangat berlebihan. Rumi tidak perlu dipasung. Tatapan mata jelitanya masih sama. Tidak mungkin dia mengacaukan desa.

Ah, kenapa aku harus teringat kembali pada Rumi. Merinding juga seandainya dia datang ke rumahku.

Tiba-tiba jendela kamarku bergetar. Seperti ada yang memukulnya dengan benda tumpul. Berkali-kali aku pun mendengar suara langkah di balik sana.

Langkah itu mondar-mandir tidak tentu arah. Seperti orang yang gelisah dan ingin melampiaskan amarah.

Aku menyingkap selimut tebalku. Lalu meraih kerudung hitam yang menggantung di samping ranjang.

"Siapa di sana?"

Tidak ada jawaban. Tapi suara langkah itu masih ada, walau semakin lemah.

Aku melangkah dengan hati-hati. Tangan kananku menggenggam gagang sapu. Sebagai senjata, apabila ada serangan tiba-tiba.

Aku tidak tega membangunkan Ayah dan Ibu. Tengah malam begini, mereka pasti sudah tertidur lelap.

"Allena?"

Langkahku terhenti. Aku mengenal suara itu.

"Allena, buka jendelanya! Cepat!"

Aku bergeming.

"Allena, aku butuh bantuanmu sekarang. Ayolah Allena! Sebelum warga mengepungku!"

Dadaku berdebar hebat ketika jendela itu diguncang berkali-kali. Ia benar-benar ingin masuk ke dalam kamarku.

"Apa yang kau inginkan dariku, Rum?!" suaraku gemetar.

"Allena, tolong aku! Biarkan aku masuk dulu, akan kujelaskan semuanya. Kumohon."

Rumi terisak. Suaranya parau. Hatiku tiba-tiba tersentuh. Bayangan masa kecil pun  bermunculan. Rumi kecil yang selalu mengajarkanku banyak hal. Mulai dari bersepeda hingga mengaji.

Aku menekan kunci jendela perlahan. Tapi tiba-tiba kuurungkan. Bagaimana kalau Rumi memukul atau mencekikku. Itu sangat mengerikan.

"Ayo, Allena! Buka jendalanya, kumohon. Rombongan warga sudah dekat."

Rumi benar. Suara riuh bersahut-sahutan. Warga memang tengah mengepungnya.

Aku pun buru-buru membuka jendela. Tiba-tiba Rumi melompat masuk ke dalam kamarku. Tubuhnya menggigil. Seluruh pakaiannya basah. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya dipenuhi lumpur, sepertinya dia sempat terjatuh.

Aku segera membawanya ke pojokan kamar. Lalu memintanya mengganti pakaian.

"Ini pakailah! Sebelumnya bersihkan badanmu, Rum."

Aku menuntunnya ke kamar mandi. Rumi bergeming. Hanya kulihat air mata mengalir deras di pipinya.

"Hati-hati! Rumi telah kabur dari pasungan. Dia bisa menyakiti warga. Mari segera kita tangkap!"

Suara Pak Lurah tepat di dekat jendelaku. Disambut riuh warga yang lain. Deru langkah membahana, mungkin ada puluhan warga yang hadir di sana.

Beberapa menit kemudian, Pak Lurah dan rombongannya beranjak. Suara teriakannya masih terdengar dari kejauhan.

"Terima kasih, Allena!"

Rumi telah berdiri di belakangku. Aku menghampirinya. Kami pun duduk berhadapan di atas karpet.

"Allena, apa kau takut padaku?"

Aku menggeleng. "Tidak, Rum. Aku yakin, kau tetap Rumi sahabat kecilku."

Rumi menghambur, memelukku. Lama dia terisak. Aku membiarkannya menumpahkan segala kesedihan.

"Allena, malam itu Pak Lurah telah menculikku. Dia membayar orang untuk memgancamku."

Aku terperangah. "Jadi, Pak Lurah yang telah melakukannya?"

Rumi mengangguk, "iya. Pak Lurah telah menyekapku di tengah hutan. Agar aku mau menyerahkan data desa padanya. Dia ingin memalsukan semua dokumen desa."

Mataku membulat. "Sungguh, aku tidak menyangka. Lalu bagaimana caranya kau bisa selamat?"

"Aku pura-pura kesurupan. Aku mengamuk bagai setan. Mereka pun lari ketakutan. Sejak itulah, aku pura-pura gila agar Pak Lurah tidak menculikku lagi. Yang paling penting, data desa masih ada padaku."

Aku menatap mata jelitanya. Ada kekaguman yang tak mampu ku sembunyikan. Ia memang cerdas sejak dulu.

"Allena, aku harus segera melaporkannya ke pusat. Tapi, aku butuh bantuanmu."

"Hah?Aku?"

Rumi tersenyum.

Setelah ini, aku akan terlibat dalam permainan yang menegangkan. Melawan keserakahan Pak Lurah.

***

The Dark VillageWhere stories live. Discover now