29. Kado Untuk Nio

Start from the beginning
                                    

Fiona masih membaca bukunya, tetapi Alden sudah meletakan bukunya sejak beberapa menit yang lalu dan memilih memejamkan mata.

"Kalau begitu kamu perlu memeriksakan mata kamu." Alden menjawab tanpa membuka mata.

Fiona mencibir, "Dih, padahal udah sering makan wortel."

Alden terkekeh. Dia bangun dari berbaringnya dan duduk di samping Fiona. "Saya enggak apa-apa."

Fiona menyisir rambut Alden dengan jari-jarinya. Terasa halus dan aroma sampo yang menguar hingga indra penciumannya.

"Fiona, kamu inget saya pernah meminjam kalung liontin kunci dari kamu?"

Tentu Fiona ingat. Di masa lalu Alden memberikan kalung itu padanya. "Iya, Kak. Aku penasaran kunci itu sebenernya apa?"

"Saya boleh minta tolong ambilkan kotak yang ada di laci meja kerja saya di sana?" Alden menunjukan meja kerja yang tak jauh dari sofa mereka tempati.

Fiona mengangguk dan bergegas mengambilnya. Kotak itu berukuran sedang, tetapi terkunci dengan sebuah gembok. Fiona memberikannya pada Alden.

"Kotak ini adalah kado terakhir dari Mama saya sebelum keluarga kami kecelakaan, dan kunci ini adalah kunci untuk kotak ini. Kunci yang saya jadikan liontin kalung untuk kamu pada saat itu."

Fiona tertegun. "Jadi, selama ini Kak Alden enggak pernah buka kotak ini?"

Alden menggeleng. "Meskipun bisa dengan cara lain, saya enggak pernah mau untuk merusaknya. Itu sebabnya belasan tahun saya mencari Brian untuk kunci ini."

"Kakak mau aku untuk buka kotak ini?"

Alden tersenyum. Dia melepas kalung dari lehernya dan memberikannya pada Fiona. "Ya."

Fiona membuka kotak itu dan menemukan sebuah kotak musik dan kartu ucapan. "Ada kotak musik dan kartu ucapan, mau aku bacain, Kak?"

Alden mengangguk.

Selamat ulang tahun, anakku sayang.
Kado ini mungkin akan jadi sangat spesial untuk Nio. Satu lagu untuk penghantar tidur nyenyakmu. Berbahagialah, doa Mama selalu
menyertaimu kapan dan di mana pun.

Fiona yang membacakan untuknya, tetapi Alden merasa bahwa suara yang didengarnya seperti milik ibunya, Seolah-olah kehadirannya benar-benar ada di dekatnya.

Alden memutar kotak musik itu dan beruntung masih berfungsi. Alunan melodi menusuk indra pendengarannya disusul dengan suara yang sangat dia rindukan selama belasan tahun.

"Mama ...."

Alden tertegun. Ini adalah suara ibunya yang menyanyikan sebuah lagu yang dia ciptakan sendiri untuknya. Matanya berkaca-kaca. Alden berusaha menahan, tetapi pada akhirnya air matanya luruh. Matanya tidak bisa melihat. Dia hanya bisa mendengar suaranya, tetapi Alden seolah merasakan kehadiran ibunya.

Tangan Fiona terulur menghapus jejak air mata di pipi Alden. Dia tersenyum, merasa ikut bahagia ketika perlahan Alden menyunggingkan senyum yang terlihat begitu senang.

"Aku pikir, kemampuan musik Kak Alden berasal dari Mamanya Kakak, sama-sama hebat."

Alden mendengung serak. "Hm, Mama saya memang jago menyanyi, beliau bahkan bisa memainkan beberapa alat musik."

Maka tidak heran kalau Alden pun pandai dalam bidang seni musik. Benar-benar buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Maaf." Alden tersadar akan sesuatu. Dia segera menyusut hidungnya dan mengusap sisa air matanya. "Saya enggak bermaksud membuat kamu iri karena—"

Tawa Fiona membuat Alden berhenti bicara. "Kakak ini ada-ada aja. Iri mungkin, tapi ini enggak seperti aku enggak punya kenangan dengan Kak Brian."

"Ah benar, setidaknya kamu bisa melihat fotonya atau video memo."

Fiona menangkup kedua sisi wajah Alden dengan tangannya. "Pokoknya ... apa pun bentuknya, setiap orang selalu punya kenangan dengan seseorang dengan caranya sendiri. Tapi yang jelas ada kenangan yang enggak pernah hilang."

Fiona menepuk pelan dada Alden. "Di sini."

Alden meraih tangan Fiona dan menggenggamnya erat. Ibu jarinya mengusap permukaan punggung tangan yang begitu halus. "Ngomong-ngomong, weekend ini ... kamu mau pergi jalan-jalan? Kita berdua."

"Jalan-jalan berdua?" Fiona tampak kaget sekaligus antusias. "Memangnya ada orang yang nolak diajak jalan sama Aldenio Baravi Serge?"

"Ada."

Fiona tersedak. "Hah? Siapa?"

"Kris."

Mata Fiona memutar jengan diiringi dengan dengkusan. "Itu sih enggak heran."

"Ke mana kamu mau pergi atau apa yang mau kamu lakukan?"

Sambil mengetuk dagunya dengan jari telunjuk Fiona berpikir.

"Haruskah kita pergi mendaki atau ke pantai lagi?" Alden berpikir keras. "Atau camping?"

Fiona menjentikkan jarinya. "Setuju, ayo kita camping."

"Oke, Kris bakal siapin semuanya."

"No No No!" Fiona menggelengkan kepala. "Katanya cuma berdua?"

Alden terkekeh. "Iya, tapi semua keperluan camping kita perlu Kris. Saya enggak akan bisa memasang tenda atau membuat perapian, Fiona."

"No No No! Aku yang akan siapin semuaaanya."

Alden menghela napas. "Oke."

Fiona memiringkan kepala. "Aku penasaran kenapa tiba-tiba Kakak mau kita jalan-jalan—em ini mungkin bisa disebut staycation?"

Alden tidak langsung menjawab. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tidak disadari oleh Fiona sebelum menjawab, "Untuk menikmati waktu selagi saya bisa bersama kamu."

Hari itu ada banyak pertanyaan yang singgah di kepala Fiona tentang maksud ucapan Alden. Apa mereka akan segera berpisah?

***

udah hampir menuju klimaks ygy

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

udah hampir menuju klimaks ygy

masih mengira-ngira apa 10 bab lagi bakal sampe ending, kalian tim

happy ending

sad ending?

btw sebenarnya cerita ini perlu direvisi, ada detail yang enggak diperlukan karena perubahan alur, tapi yaudahlah ya tamatin dulu ygy

Imperfect CoachWhere stories live. Discover now