02: Dia Bukan Orang Asing

791 106 53
                                    

Sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00 tepat. Ini sudah waktunya untuk para siswa di SMA Mentari Pagi beristirahat. Satu demi satu murid mulai meninggalkan kelasnya masing-masing, menuju kantin atau mungkin perpustakaan.

Berbeda halnya dengan kelas Joice. Seorang guru pelajaran kewarganegaraan masih setia memberi nasihat di kelas itu. Ini semua gara-gara Arsel yang tidak mengerjakan tugas. Sesungguhnya hal ini bukan sepenuhnya salah Arsel, karena dia memang tidak mengerti kalau ada tugas sejak ia kembali ke Bandung kemarin.

Guru itu sama sekali tidak memberi toleransi pada Arsel yang kini sudah menunduk diam di bangkunya. Parahnya, beliau juga mengungkit-ungkit kesalahan Arsel dan murid-murid lainnya di masa lalu-termasuk Joice yang lupa membawa buku cetak beberapa minggu lalu.

Seekor kerbau berkubang, semua kena lumpurnya. Itulah peribahasa yang sesuai untuk menggambarkan kejadian hari itu.

"Jangan diulangi lagi, Arsel!" ucap guru itu pada akhirnya.

"Iya, Pak..." jawab gadis itu lirih.

"Tuh, kan! Gara-gara kamu satu kelas jadi telat istirahatnya!" ucap guru itu lagi.

Arsel masih diam.

"Sudah, kalian boleh istirahat!" ucap guru itu sambil berjalan keluar dari kelas.

Arsel menghela napasnya, lalu ia diam sejenak. Tak lama, ia lalu menghentak-hentakkan kakinya ke lantai dan memukul-mukul meja sambil menggeram kesal. Sungguh, ia kesal. Amat sangat kesal.

Joice yang melihat hal itu langsung saja mendekati Arsel. "Udah, Sel, sabar!"

"Ih, sabar gimana coba?! Orang itu nyebelin banget, sumpah!" jawabnya.

Arsel masih terus mengoceh saat satu per satu murid lain pergi meninggalkan kelas. Kini hanya Joice dan dirinya di dalam kelas itu-ralat, ada juga pemuda pendatang baru bernama Artha itu. Ia duduk diam di pojok kelas sambil menulis sesuatu.

"Eh, Sel..." bisik Joice.

"Apa?!" jawab Arsel tidak santai.

"Santai aja kali," balas Joice dengan nada biasa.

"Iya, apa?" Arsel mengulang pertanyaannya, dengan nada lebih lembut.

"Itu loh," ucap Joice, kemudian melirik pemuda di pojok kelas.

Arsel langsung mengikuti arah mata Joice. Gadis itu kemudian diam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.

"Ayo! Kita ke kantin aja," kata Arsel sambil menarik tangan Joice.

"Loh, tapi kan aku nanya-"

"Aku udah bilang, nanti aja aku ceritain sepulang sekolah!" potong Arsel segera.

Semakin lama Joice semakin peasaran. Sungguh, ia merasa ada sesuatu yang terjadi di antara Arsel dan Artha. Masalahnya hanya Joice tidak yakin apa itu.

Menantikan jam pulang sekolah adalah hal yang langka terjadi pada gadis serajin Joice, namun itulah yang terjadi padanya hari ini.

≈≈≈

"Jadi, gimana?" tanya Joice ke Arsel, tepat beberapa menit setelah bel pulang berdering.

"Apa?" jawab Arsel.

Joice memasang ekspresi datar. "Itu..." ucapnya sambil melirik Artha yang sedang merapikan bukunya.

"Hmm... jangan di sini deh," jawab Arsel sambil merapikan bukunya.

"Hah?" Joice bingung. "Kenapa?"

"Ssst!" Arsel menyuruh sahabatnya itu untuk diam. "Sini ikutin aku!"

Joice menurut saja ketika gadis itu menraik tangannya ke luar kelas. Mereka terus berjalan, sampai akhirnya tiba di tempat parkir, tepat di sebelah sepeda Joice.

Arsel mengambil sepeda pancalnya pula, dan kemudian menaikinya, membuat Joice bertanya-tanya dalam hati. Joice bingung dengan sikap Arsel. Katanya ia mau memberi jawaban atas pertanyaan Joice, namun nyatanya dia malah menaiki sepedanya seolah ingin pulang begitu saja.

"Sel?" Joice memanggilnya kebingungan.

"Aku ceritain di jalan aja," jawab Arsel.

"Hah?" Joice bingung.

"Rumah kita searah, kan?" balas Arsel, sama sekali tak memberi jawaban atas kebingungan yang dirasakan Joice.

Joice terdiam, memandang sahabatnya dengan penuh tanda tanya.

"Ayo," ucap Arsel sambil mengayuh sepedanya.

Joice segrea naik ke sepedanya juga, lalu berusaha mengejar Arsel yang sudah agak jauh berada di depannya.

"Dia kenapa sih? Aneh," gumam Joice sambil mengejar Arsel dengan sepeda.

Sekitar 15 menit Joice terus berkejar-kejaran dengan Arsel. Tentu saja dalam 15 menit itu pula Joice telah memikirkan berbagai alasan mengapa Arsel terus mengulur waktunnya untuk memberikan jawaban. Pasti ada sesuatu, dan ia yakin bahwa itu bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja.

Mereka tiba di sebuah persimpangan jalan ketika sebuah mobil tiba-tiba lewat dan hampir menabrak Arsel. Akhirnya mereka berdua berhenti sejenak, menarik napas dan menenangkan jantung mereka yang kini berdetak lebih cepat. Arsel benar-benar kaget. Bila ia terlambat berhenti, mungkin ia sudah tidak berada di bumi saat ini.

"Sel," panggil Joice-lagi.

"Apa?" jawab Arsel sambil mengelus dadanya.

"Jelasin," katanya datar.

Arsel menghela napas, lalu menjawab, "Kamu masih penasaran, ya?"

"Iya! Masih, banget!" jawab Joice yang sudah sejak pagi menanti jawaban.

"Haduh... gimana, ya?" Arsel turun dari sepedanya.

"Jelasin!" Joice tidak sabar, ia kemudian juga turun dari sepedanya.

"Tapi kamu jangan ketawa, ya?" Arsel bertanya.

"Iya, Sel!" jawab Joice gemas. "Jelasin."

"Hmm... duh, susah nih." Arsel terus mengulur waktu.

"Susah? Udahlah, jelasin aja, Sel!" Joice menggaruk kepalanya sendiri karena kesal.

"Beneran kamu nggak bakal keta-"

"Sel, jawab, atau mobil tadi aku suruh balik lagi buat nabrak kamu?" Joice memotong-mengancam Arsel saking gemasnya.

Arsel menghela napas lagi, lalu berkata dengan lirih. "Dia mantan aku..."

[BERSAMBUNG]

Melodi KelabuWhere stories live. Discover now