5. The Little Cat's Roar

7.9K 793 23
                                    

~ Ketika seekor kucing mencoba mengaum di depan harimau... ~

"Kata siapa? Maksudmu Direktur di perusahaan ini?" tanya pria itu. Ah, ternyata dia tak percaya. Ave sudah menduganya dan dia sudah punya jawaban.

"Siapa lagi? Bukankah mereka mencari karyawan baru untuk membantu sekretaris eksekutifnya? Mas tadi lihat kan? Semua staf di ruangannya itu hampir semuanya laki-laki, nah itu tadi... karena dia... yah begitulah," kata Ave dengan mimik wajah pokoknya-udah-saya-kasih-tau-loh.

Begitu selesai, tatapan pria itu tampak menusuk tajam ke arah Ave. Ave mengerti, dia pasti terkejut dan tidak yakin pada informasi itu. Kaki Ave mengetuk lantai berulang kali sambil menunggu pria itu mencerna perkataannya.

Ia terpaksa melakukannya. Dari penampilannya saja, Ave sudah tahu dia bisa kalah dengan mudah. Pria ini bisa menjadi saingan beratnya untuk diterima kerja di sini. Ave sudah terlalu lelah dan malas mengulang proses mencari kerja yang ribet. Ia harus secepatnya mendapat pekerjaan. Biaya hidup saat ini terlalu besar untuk seorang pengangguran seperti dirinya. Apalagi Papa sudah memblokade peluang begitu banyak perusahaan darinya. 

"Kata kawan saya, saking takutnya kaum pria di kantor ini, mereka gak ada yang berani bekerja di lantai ini. Maka, agar mendapat korban yang baru, direktur selalu mencari karyawan pria baru yang belum tahu soal... mmm.... itu!" bisik Ave. Ia berdiri, menghela napas, "Tapi, yah terserah Anda mau percaya atau tidak. Saya hanya memberi informasi penting ini pada Anda." Lalu ia mengangkat bahu dan meninggalkan pria muda dengan wajah yang tampak shock itu.

Tentu saja, menjadi bawahan dari pria dengan kehidupan berbeda seperti itu pasti membuatnya takut dan kuatir setengah mati. Mana ada pekerjaan yang nyaman jika dilakukan dalam keadaan selalu takut dan kuatir setiap saat? Sebesar apapun gajinya, seenak apapun kondisinya.

Dengan santai Ave kembali duduk di kursinya, mengambil ponselnya sendiri dan mulai membaca status-status yang berseliweran silih berganti di akun sosmednya. Tapi ekor matanya sesekali melirik pria tadi. Pria itu sudah pergi, entah kapan karena Ave tak melihatnya lewat di depannya tadi. Tahu-tahu kursinya sudah kosong. Ave tersenyum puas. Satu saingan berat sudah tersingkir.

"Ave!" Panggilan itu membuat Ave melonjak kaget. Ia hampir terjerembab saat berlari mendekati Eza yang berdiri di dekat lift. Tadi ia sempat singgah sebentar ke gedung GE, dan karena waktunya sempit, Ave meminta bantuan Eza untuk mengantarnya dengan motor. 

"Kak Eza ngapain naik ke sini? Kan Ave bilang pulang aja!" Ave menarik tangan Eza dan menyeretnya kembali ke lift. 

"Ave kan belum makan apa-apa dari pagi, ini saya bawakan. Tadi saya tunggu di bawah, tapi kamu gak turun-turun, jadi saya naik saja."

"Aduuuh, Kak. Gak ada yang boleh tahu soal Ave. Lagian Ave masih kenyang. Ave udah biasa makan telat. Kakak bawa aja turun lagi. Mana boleh Ave makan di sini. Sudah, sudah bawa turun lagi sana."

"Tapi Avelia..."

Ave tak peduli. Ia menekan tombol lift dengan terburu-buru. Melirik jam dinding yang masih kurang lima menit dari angka 1. Begitu pintu lift terbuka, dan kosong, napasnya terasa lega luar biasa. Dengan cepat ia mendorong pemuda itu. Ia menyatukan kedua tangan, meminta maaf sebelum pintu lift tertutup. Ave sangat kuatir ada orang yang akan mengenali Eza karena ada logo GE di jaket yang dipakai pemuda itu. Begitu pintu lift menutup, Ave bernapas dengan lega. Syukurlah...

"Rupanya kau memberitahu semua orang tentang hal itu ya?" Suara di belakangnya membuat Ave berbalik. Ternyata pria yang tadi. Ia belum pergi. Malah kali ini, pakaiannya sudah begitu rapi. Lengan kemejanya tak lagi dilipat sampai siku, dan kancing bajunya sudah disematkan dengan baik. Rambutnya yang tadi berantakan sedikit tampak basah, kini sudah tersisir rapi. Ave mengeluh dalam hati. Ia mulai merasa hatinya melemah tiap kali melihat pria ini. Terlalu... tampan. Dia terlalu tampan untuk diperdaya oleh dewi jenius Ave.

"Tidak, orang itu hanya salah lantai saja. Dia ingin... ingin mengantar barang. Tapi karena saya bukan karyawan di sini, jadi saya suruh kembali ke lantai dasar. Ke resepsionis." Ave mendekati pria itu, memandanginya sebentar sebelum melanjutkan, "Mas sendiri? Mau tetap nyoba?"

Pria itu kembali menatapnya, ia menekan bibirnya hingga membentuk garis lurus, "Kamu sendiri? Gak takut?"

Ave terkekeh. "Kan saya cewek, Mas. Saya justru senang punya bos seperti itu. Amaaaan." Tangan Ave melambai di depan dadanya.

"Begitukah? Jadi kau juga melamar kerja di sini?" desisnya. Nada suaranya menekan kata melamar kerja seperti memastikan sesuatu.

Ave mengangguk-angguk. "Saya memilih di sini justru karena saya tak harus kuatir nanti ada skandal cinta yang tidak-tidak dengan atasan. Saya ingin bekerja dengan baik dan nyaman."

Pria itu mengangguk-angguk. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia menekan tombol lift turun. "Semoga kamu diterima. Kamu benar-benar calon karyawan ideal," katanya.

Saat itulah pintu lift yang terbuka. Tampak beberapa orang di dalamnya, termasuk perempuan yang sedari tadi memanggil para calon karyawan. Perempuan itu keluar bersama yang lain. Sementara pria tampan itu masuk ke dalam lift. Tatapan dua orang itu bertemu, pria itu melemparkan tatapan dan perempuan itu menunduk sedikit. 

Ave justru tak peduli. Ia menatap pintu lift yang mulai tertutup sambil tersenyum puas. Pria tampan itu akhirnya pergi juga. Berarti kesempatannya makin besar. Ia yakin telah berhasil menyingkirkan saingan terberatnya. 

Setelah itu Ave bergegas ke toilet khusus perempuan. Ia memperbaiki penampilannya agar terlihat lebih baik. Ia keluar tepat saat mendengar namanya dipanggil. Perempuan yang tadi menatapnya di depan lift yang memanggil Ave. Ave buru-buru mendekat dan hendak bergerak menuju ke ruangan wawancara ketika perempuan itu justru berhenti, menahan langkah Ave.

"Oh, Anda yah yang tadi berbicara dengan Pak Zaid ya?" tanya perempuan itu tiba-tiba.

"Maaf?" Ave mengangkat alisnya, bingung.

"Iya, Anda yang tadi bicara dengan Pak Zaid, kan? Itu... pria yang tadi masuk ke lift setelah saya keluar."

"Zaid?" ulang Ave heran. Apa maksudnya pria berkemeja biru itu?

"Iya, yang pakai kemeja biru tadi," ucap perempuan itu seakan membaca isi kepala Ave. Ave langsung mengangguk setengah tak sadar.

"Katanya Anda sudah lolos seleksi pertama. Jadi dia akan menginterview Anda langsung untuk seleksi kedua. Nanti langsung ke sana ya... " Perempuan itu menunjuk ke sudut ruangan tempat dua meja berjejer dengan dua orang yang sedang sibuk di depan tumpukan berkas. "... Ambil berkas Anda dan nanti dengan Pak Rizal, Anda akan diantar untuk bertemu Pak Zaid untuk interview selanjutnya."

Ave menelan ludah. 

Lolos? Begitu saja... Setelah semua yang ia katakan pada pria berbaju biru tadi. Apa ini tidak terdengar seperti seekor kucing yang sedang diantar masuk kandang harimau? Sebenarnya orang itu siapa? 

"Tung... tunggu dulu! Maaf Mbak, Pak Zaid itu siapa?" tanya Ave mulai panik. Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya.

Perempuan itu menatap Ave. "Anda tidak tahu? Dia direktur perusahaan ini. Zabir Zaid Abdullah." Lalu ia berbalik meninggalkan Ave dan kembali memanggil para pelamar kerja lainnya.

Mendadak Ave teringat perubahan warna wajah pria itu tadi. Sepertinya, sekarang dialah yang mengalaminya. Ave bisa merasakan darahnya terasa menggelegak, panas menjalari seluruh wajahnya, sebelum berubah jadi dingin menyebar turun ke seluruh tubuhnya hingga bulu kuduknya merinding dan perlahan-lahan Ave bisa merasakan wajahnya seperti mati rasa. Kebas. Tak ada lagi darah mengalir di sana. Warnanya sekarang pasti putih, pucat pasi. Habis karena tersedot oleh kepanikan luar biasa.

Ya Tuhan, Avelia Shamsiah Al Farizi! Apa yang telah kau lakukan?!?

***

Putri Matahari & Pangeran Salju (TAMAT - NOVELTOON)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang