Part 26

593 79 13
                                    

Waktu terus bergerak maju. Meski memerlukan waktu yang sangat lama, pada akhirnya Irene mulai mengikhlaskan kepergian orang tuanya. Ia juga sudah mulai terbiasa hidup bersama keluarga kecil tante Sella. Mulai terbiasa dengan keusilan yang dilakukan Sean padanya. Meski sekarang rumahnya tidak lagi bersebelahan dengan Kiano, tapi cowok itu selalu berusaha untuk berangkat dan pulang sekolah bersama Irene. Melewati hari-harinya bersama Irene seperti saat Irene masih menjadi tetangganya dulu.

Tapi sudah seminggu Kiano izin dari sekolah juga tidak pernah menyempatkan waktunya untuk mengunjungi Irene. Bahkan saat dua hari yang lalu Irene mendatangi rumah Kiano dan mendapati rumah tersebut dalam keadaan sepi. Menurut tetangga, keluarga Kiano pergi keluar kota karena ada urusan. Yang membuat Irene kesal adalah Kiano sama sekali tidak bilang akan pergi atau mengabarinya sedikit pun. Semua telepon dan pesannya tidak pernah mendapat jawaban dari Kiano.

Hari itu Irene sedang belajar menjahit menggunakan mesin jahit kuno punya tante Sella saat Sean tiba-tiba berteriak memanggilnya.

"Teteh... teteh Irene... teh teh teh teteh Irene...," teriak Sean mencari keberadaan kakak sepupunya itu.

"Teteh di kamar. Nggak usah teriak teteh denger kok...," sahut Irene.

"Ada Kak Kiano nungguin di depan...," ucap Sean memberitahu tujuannya mencari Irene. Mendengar nama Kiano membuat Irene serta merta berlari keluar kamar untuk menemui cowok itu.

"Kiano!" panggil Irene begitu melihat sosok jangkung itu berdiri di teras rumah memperhatikan halaman rumah tante Sella.

"Hei Irene...," sapa Kiano dengan senyum khasnya.

"Kamu kemana aja? Seminggu nggak masuk sekolah. Nggak pamit sama aku. Ditelepon nggak pernah di angkat, aku chat kamu nggak pernah dibales. Kemana sih? Bikin orang khawatir tau...," protes Irene langsung.

"Rene... duduk dulu bisa kali baru protes panjang lebar...," respon Kiano.

Irene menatap geram cowok itu lalu mengajaknya duduk di kursi teras. "Jadi? Kemana aja kamu?"

"Liburan ke Malang," jawab Kiano.

"Terus... itu tangan kamu kenapa dipasang gips gitu?" tanya Irene yang sedari tadi sudah penasaran melihat penampilan Kiano dengan tangan kirinya di gips.

"Hmm... ini... pergelangan tangannya retak... kepeleset di kamar mandi,"

"Nggak hati-hati... kalau kayak gini kan kamu nggak boleh main basket dulu pasti, kan? Padahal sebulan lagi ada liga antar-SMA...,"

Kiano terkekeh pelan. "Yah... gimana. Aku terpaksa izin dulu dari basket. Sebenernya bisa sih main dengan tangan satu doang... cuma pelatih juga nggak akan kasih izin aku ikut tanding...,"

"Padahal kamu udah nungguin banget pertandingan basket ini... kamu sih nggak hati-hati bisanya kepleset di kamar mandi...,"

"Santai, Rene... gue nggak apa-apa kali... masih ada pertandingan basket lainnya... dan yah namanya musibah kan nggak ada yang tau aku bakal kayak gini,"

Irene hanya mendengus kesal. Saat itu Irene sama sekali tidak menaruh curiga dari setiap cerita Kiano. Ia percaya saja kalau Kiano cedera karena terjatuh di kamar mandi. Namun sejak hari itu, Irene mulai merasakan ada yang berubah dari Kiano. Kalau biasanya Kiano akan selalu tertawa tiap kali Irene protes, maka Kiano hanya akan menunjukan senyum tipisnya dengan tatapan sendu. Irene juga sering menemukan Kiano lebih banyak melamun. Kiano yang biasanya sering bercanda dengan temen sekelas mereka, jadi lebih sering diam memperhatikan setiap candaan teman sekelasnya. Dan yang membuat Irene semakin bertanya-tanya adalah saat Kiano memutuskan untuk keluar dari anggota ekskul basket. Selama ini Kiano menjadikan basket hal penting dalam hidupnya, lalu bagaimana bisa cowok itu melepaskan basket dengan alasan cedera pada pergelangan tangannya tersebut? Tapi setiap kali Irene bertanya ada apa dengan dirinya, Kiano selalu menjawab bahwa ia baik saja dan tidak ada yang bermasalah dengan dirinya.

Azalea [COMPLETED]Where stories live. Discover now