Part 3

1.3K 148 45
                                    

Mino menghembuskan napasnya perlahan, menikmati ritme degup jantungnya yang berdetak normal. Saat ini Mino sedang duduk di salah satu bangku tribune stadion lapangan softball. Menonton sekelompok anak SMP yang sedang berlatih di lapangan.

Ingatan cowok itu kembali pada ulang tahunnya yang kelima saat Papa memberikan sebuah hadiah tongkat pemukul. Dan keesokan harinya ia sudah diseret dari tempat tidur dan dibawa ke lapangan ini. Papa sangat mencintai olahraga yang harus pintar dalam menyusun taktik untuk memukul bola ini. Hingga memaksakan Mino untuk ikut menyukai olahraga ini.

"Ayo lari Mino...," teriak Papa pada Mino kecil yang kelelahan berlari mengelilingi lapangan. "Tadi kamu berhasil melakukan homerun. Kalau homerun harus lari sekuat tenaga keliling lapangan," Papa menatap Mino yang tergeletak di rumput setelah kakinya sudah tak mampu lagi berlari. Keringat mengalir deras di keningnya. Mino hanya diam sambil mencoba mengatur napasnya. Karena meski ia kelelahan dalam setiap latihan yang diberikan Papa, cowok itu menikmati setiap momen saat dirinya harus berlari dari satu base ke base lainnya. Dan meski kakinya terasa panas karena harus terus berlari, cowok itu pada akhirnya pun jatuh cinta pada olahraga softball. Meski pada tujuh tahun yang lalu, Mino memutuskan untuk berhenti bermain softball.

Mino tersenyum memperhatikan sekelompok anak SMP yang sedang berlatih di lapangan tersebut. Jujur, ia rindu turun ke lapangan untuk bermain softball seperti dulu.

***

"Baru dateng lo?" tanya Leora saat melihat sosok Irene yang baru memasuki kedai kopi. "Hhmm... selama elo gak masuk kemarin ada yang nyariin loh,"

Irene yang sedang memasang apron melirik Leora dengan bingung. "Siapa? Leon? Atau Fabian?" Irene menyebutkan nama pacar Leora yang juga sahabat Irene.

Leora berdecak pelan. "Ngapain mereka nyariin elo toh mereka juga tau elo izin,"

"Terus siapa?"

"Cowok yang selalu pesen caramel macchiato dan cheesecake,"

"Maksud lo, Mino?"

Leora membulatkan matanya. "Elo udah kenalan sama dia?"

Irene menganggukan kepalanya. "Kemaren juga kebetulan dia mampir ke toko beli buket bunga buat ultah nyokapnya,"

Kali ini mulut Leora yang terbuka lebar. Cewek cantik itu menatap Irene dengan sebelah mata menyipit. "Dari sekian banyak toko bunga yang ada di seluruh wilayah Jakarta, kenapa harus toko bunga tante elo sih? Gue jadi curiga deh...,"

"Curiga kenapa?" suara Fabian menginterupsi percakapan diantara dua cewek itu. Cowok yang baru datang itu duduk di sebelah Leora pada kursi bar.

"Kamu harus tau, status third wheel yang melekat di Irene sebentar lagi hilang,"

"Kok bisa?" tanya Fabian semakin penasaran.

"Ada cowok yang beberapa hari kemarin dateng ke sini cuma buat ketemu Irene,"

"Woah? Serius nih? Selamat yah, Rene...," ucap Fabian.

Irene memutar kedua bola matanya. "Sangklek yah elo berdua... ngomongin hal nggak bener," protes Irene.

"Bukan gitu, Rene... kalo yang dibilang Leora beneran, gue mau ikutan nyeleksi cowok yang deket sama elo. Memastikan kalo cowok itu bisa bahagiain elo,"

Irene berdecih pelan. Cewek itu pun segera mengambil posisi di balik mesin kasir dan mulai melayani para pelanggan yang berdatangan. Mengabaikan percakapan yang sangat tak penting diantara pasangan itu.

Leora yang sedang menatap ke sekeliling toko, tiba-tiba menyenggol lengan Fabian pelan. Cewek itu membisikkan sesuatu di telinga pacarnya, saat pandangannya menangkap sosok Mino yang hari ini kembali mengunjungi kedai.

Azalea [COMPLETED]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora