1. Badai di Musim Semi

209 83 42
                                    


Bukan karena tanpa alasan angin menerpamu
Membuat rantingmu patah ?
Menggugurkan kuncup bunga dan dedaunanmu ?
Ia datang karna tau kau kuat
Dan bahagialah,
Karna esok akan ada kuncup di dahanmu yang lebih indah
~vhieynaora~

♡♡♡

"Tumor?"

"Benar, tapi untuk lebih pastinya besok silahkan pergi ke pukesmas agar dapat surat rujukan ke rumah sakit daerah." Tutur bidan itu memberi saran seraya merapikan kembali bajuku setelah memastikan benjolan sebesar ruas pertama jari jempol di payudara kananku.

Seketika tubuh ini terasa tak bertulang. Bagaimana bisa penyakit menakutkan itu yang di tubuhku. Seharusnya aku tak perlu memeriksakan, mungkin akan lebih baik jika tidak mengetahuinya, dibandikan harus ketakutan seperti ini. Apa hidupku juga nggak akan lama lagi ? Sungguh aku dibuat frustasinya karnanya.

Namun aku berusaha menguatkan diri. Bagaimana bisa aku terlihat rapuh di depan Bapak yang sedari tadi menemaniku untuk periksa ke bidan desa. Melihat raut senduh di wajahnya akan membuatku semakin hancur. Aku akan tetap terlihat riang dan hal ini bukan hal besar yang perlu ditakuti. Meski sejujurnya aku sangat takut. Sangat.

♡♡♡

Kamipun pulang. Di rumah ibu dan Kak Bintang menungguku.

"Bagaimana hasilnya? Bukan hal yang perlu dikhawatirkan kan?" Tanya Kak Bintang.

"Mungkin tumor, besok harus ke pukesmas untuk memastikannya." Jawabku seraya berjalan ke kamar.

"Adik baik-baik aja kan ?" Dia menghadangku. Aku hanya memandang matanya yang penuh kecemasan sekilas.

"Aku ingin sendiri kak."

Tanpa memperdulikannya aku mengabaikan kak Bintang yang mematung tepat di depan pintu kamarku. Aku menutup pintu tanpa peduli. Aku tau pasti banyak hal yang ingin Dia tanyakan.

Kini pikiranku melambung entah kemana. Takut, apakah hidupku takkan lama lagi ? Sedih, bagaimana tidak, aku masih baru saja berumur 16 tahun. Aku masih 2 SMA. Cita-citakku, mimpiku, semua masih ingin ku raih. Semua beraduk menjadi satu membuat semangat hidup ini hilang. Oh tuhan bagaimana mungkin, Kini hari-hariku terasa menyesakkan. Masa remaja yang digadang-gadangkan indah, mengapa tidak denganku. Mengapa ini tak adil? mengapa aku? mengapa harus aku?.

Dddrrrtt

Satu pesan baru masuk

Sore
Lagi apa dek?

Isi pesan singkat yang masuk ke dalam handphone kusamku.

Pesan itu dari Arka, teman yang ku kenali dari sosial media. Kita tidak dekat, dan bahkan hampir semua spam pesannya ku abaikan. Nomor HP nya hanya sebagai penggenap kontak di Ponselku. Jujur saja, aku sanggat enggan meladeninya.

Tapi, gejolak batin ini sungguh menyiksa dan menyayat-nyayat hati tanpa henti. Ingin aku bercerita. Kak Bintang. Tidak, pasti akan banyak sekali ocehannya dan aku muak dengan itu. Tanpa pikir panjang aku membalas pesan itu dan aku ceritakan apa yang kualami persekian menit yang lalu. Aku pikir, aku akan merasa lebih lega setelahnya.

Perkenalanku dengan Arka berawal dari tingkah bodohku kala itu yang memposting nomor handphoneku di grub facebook Pasukan Armada. Yah, kami sama-sama pecinta Armada Band. Benar-benar malu kala teringat saat itu. Gadis mana yang dengan gampangnya mengobral hal privasinya. Konyol sekali. Dan sialnya dia salah satu anggota grub yang mengirim pesan padaku. Mungkin setiap hari dia mengirimiku pesan singkat mengucapkan pagi, siang, sore, malam dan tak satupun yang ku hiraukan. Aku sangat enggan meladeninya karena alasan konyol dia menggunakan foto profil dengan mengenakan atribut lengkap seorang bonek mania. Musuh bebuyutan sampai tujuh turunan bagi kami supporter Arema. Yah, karna Malang adalah tempat kelahiranku.

Tiba-tiba dia menelponku

"Halo"

Dia tak menyahuti, hanya terdengar suara isak

"Semangat ya, dek. Kamu harus kuat dan sabar. Jangan sedih, nggak ada sakit yang nggak bisa diobati. Tuhan pasti ngasih kesembuhan buat adek. Kakak sayang adek." Suara lirih disana.

Aku hanya terdiam mendengar suara Arka untuk pertama kalinya.

Dia menangis. Kenapa ? Apa aku yang membuatnya seperti itu? Aku merasakan ketulusan disetiap tetes air mata, setiap untai kata, dan sikap Arka. Entah mengapa saat ini, aku seakan tersihir dan presepsiku selama ini hilang seketika. Tampang garang di foto profilnya tak lagi berarti bagiku. Dia tak seburuk kelihatannya. Dia lembut. Dan dia penuh ketulusan.

♡♡♡

Malam-malamku kini selalu diselimuti ketakutan, aku selalu bertanya, apakah esok pagi aku masih bisa melihat mentari bersinar? Apakah nanti aku masih bisa merasakan wisuda ? Apakah nanti aku masih sempat menjadi mahasiswa ? Sungguh Tuhan nggak adil. Kenapa aku ? Kenapa harus aku ?

Ah, Tuhan sungguh nggak adil. Kenapa cobaan berat ini harus aku yang menanggung. Dia begitu tidak adil, bukankah Dialah yang Maha Adil? Apa ini yang namanya adil?

Kegelisahan ini membuat mataku sulit untuk diajak bermimpi. Mungkin dengan mendengar lagu-lagu radio, aku akan mengurangi kegelisahan ini dan mengundang rasa kantuk. Aku pasang freehand di telingaku dan jemariku memainkan navigasi handphone untuk mencari saluran radio favorit. Yup, ketemu dan pas banget lagu Armada. Fiuh, lagu-lagu ini benar- benar menenangkanku. Lagu demi lagu terus berganti hingga lagu Wali band menyentil hati dengan sopannya.

Aku malu padamu
Tahu ke kuranganku
Tapi aku lebih malu
Bila Tuhan tahu
Ku tak terima hidupku

Ku ikhas apa adanya aku
Tanpa harus aku mengeluh
Karna ku yakin Tuhan lebih tau
Ini terbaik untukku

Sontak air mata ini meleleh, baru saja aku maki Tuhan dan kini Dia menegurku dengan lembut lewat lagu ini. Ah, rasanya seperti makhluk yang tidak tau diri. Sungguh aku malu padamu Tuhan.

♡♡♡

Aku meletakkan piring makanku yang masih penuh dengan nasi meskipun menu hari ini adalah makanan favoritku, telur mata sapi setengah matang. Rasa takut menyelimuti hati dan pikiran sepenuhnya. Kak Bintang menunggu di depan dan siap menemaniku ke pukesmas. Setelah berpamitan pada ibu, kamipun berangkat.

Benar saja, dokterpun berfikiran yang sama dan akupun mendapat surat rujukan ke rumah sakit. Apakah aku akan mati ? Apa yang bakal dipikirkan seorang bocah 16 tahun selain penyakit ini menakutkan. Sungguh apa yang akan terjadi padaku.

Kak Bintang mengurus semua administrasinya. Aku menunggu di kursi antri. Setelah selesai dia menghampiri seraya duduk di kursi sebelahku.

"Kenapa harus aku kak ?" Tanyaku dengan wajah murung.

"Karna Tuhan tau adek kuat." Jawabnya singkat.

"Ini menakutkan" sergaku

"Kakak tau dek, kalo adek lemah pasti Tuhan kasih sakit pilek aja, karna adek kuat makanya cobaannya juga berat. Kalo adek bisa lewatin, derajat adek di mata -Nya akan lebih baik juga." Jelasnya.

"Nggak mau lebih disayang Tuhan ?" Pungkasnya.

"Iya iya"

Selalu, kak Bintang hoby sekali menceramahiku. Suka melarang ini itu, padahal dia bukan keluargaku. Kak Bintang adalah tetanggaku. Umur kami terpaut cukup jauh. Karna dia sering ke rumah untuk membantu pekerjaan bapak, keluarga kami jadi dekat dengannya. Terlebih aku. Aku sangat menginginkan seorang kakak laki-laki. Pasti menyenangkan ada yang selalu melindungi, mengantar kemanapun kita pergi, dan menjadi sandaran saat ada beban. Karna menjadi anak pertama sangatlah tidak mudah. Pundakmu harus sekuat karang, otakmu harus setajam pedang, dan hatimu harus selembut awan.

♡♡♡

EncounterWhere stories live. Discover now