Ketika Malaikat Berbisik

999 181 17
                                    

Catatan:

Kutemukan cerpen ini di HD lama. Kutulis lebih dari satu dekade lalu.  Tokohnya anak-anak tapi bahasanya untuk usia remaja.

Aku post biar enggak hilang saja.

_____________________

Ada momen yang sering terputar ulang di benak Alit, terpicu oleh hal-hal sekecil apa pun. Momen ketika Ibu mendongeng untuknya, dan mereka bercakap-cakap sesudahnya. Alit ingin tahu bagaimana Ibu bisa pandai bercerita, mengarang kisah-kisah fantastis, yang setiap malamnya selalu berbeda. Kata Ibu, pada setiap dongeng dan cerita, ada bisikan malaikat pada mulanya, mengaduk dan menghidupkan lagi pengetahuan terpendam si pengarang.

"Bagaimana cara malaikat berbisik?" tanya Alit polos.

"Dengan banyak cara. Bisikannya ada di desau angin, tarian api, dengung sayap lebah, gugurnya kelopak bunga, percakapan orang, gurat raut wajah. Juga ada di udara, aroma masakan, tanah humus, kepulan asap kendaraan, dan di antara huruf-huruf yang kaubaca. Ketika kau membuka pancaindra, kau tahu malaikat ada di sampingmu, membisikimu dengan ide-ide segar."

"Bagaimana aku tahu ia malaikat, bukan setan?" tanya Alit lugas.

"Nuranimu bisa membedakannya," sahut Ibu. "Dan malaikat itu seperti nuranimu, condong pada kebaikan, kejujuran, dan manfaat bagi orang lain."

Alit mengangguk, menatap buku-buku cerita yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. "Aku ingin bisa mengarang. Seperti mereka, seperti Ibu. Tapi kalau aku sudah bisa mengarang cerita sendiri, aku tidak mau Ibu berhenti mendongeng untukku."

Ibu menciumnya. "Tidak, anakku. Kau akan selalu mendengar cerita-cerita Ibu, walaupun Ibu tak ada lagi di sisimu. Malaikat akan membisikkannya kepadamu. Bukalah pancaindramu."

Dan Alit membuka penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabanya. Ia bahkan makan tanpa pilih-pilih dan senang berbicara untuk melatih lidahnya. Ibu benar, hal-hal kecil pun bisa membuatnya mendengar bisikan malaikat, yang kadang mengulang kata-kata Ibu, tapi lebih sering lagi memberinya gagasan baru.

Seperti kertas-kertas itu, ia langsung tahu ada bisikan malaikat di dalamnya. Tertumpuk di atas tutup bak sampah rumah nomor satu, ditindih batu agar tidak terbawa angin, seolah sengaja disediakan untuknya. Ada penggalan cerita dan dongeng menakjubkan di dalamnya. Hanya penggalan. Kadang bagian awal, tengah, atau akhir cerita. Kak Fika menyebut kertas-kertas itu pemborosan. Untuk apa draf yang tidak memuaskan dicetak juga?

Tetapi menurut Alit, si pengarang sengaja menulis sedikit-sedikit untuk dilanjutkan oleh orang lain, oleh dirinya.

Pertama kali Alit menemukan tumpukan kertas itu sebulan lalu, ia sampai memberanikan diri memencet bel di pagar untuk bertanya kepada penghuni rumah, apakah kertas-kertas itu benar dibuang, bukan terbuang. Sayang sekali, sebalik kertas masih kosong, bisa digunakan untuk corat-coret. Tapi pembantu rumah itu menyatakan, nonanya sangat sangat mampu membeli kertas baru. Jadi, ambil saja, jangan menolak rezeki.

Maka, Alit memulung rezeki istimewa itu setiap hari, untuk dirinya sendiri. Toh masih banyak plastik, kaleng, kardus, koran, dan barang-barang bekas lainnya yang bisa Ayah jual. Ayah, tanpa banyak kata, mendukung Alit. Dengan senang hati, ia menunggu Alit di belokan jalan menuju kompleks perumahan baru itu. Alit dari sekolah, Ayah dari berkeliling kampung memulung. Kompleks itu tujuan terakhir sebelum mereka pulang bersama-sama. Sebetulnya, pemulung dilarang masuk. Tapi Pak Ujang, satpam kompleks, adalah teman kerja Ayah dulu. Menurut Pak Ujang, terlalu banyak kemubaziran di bak-bak sampah mereka, sudah seharusnya dimanfaatkan. Jadi, Pak Ujang pasang badan melanggar aturan itu untuk beberapa pemulung tertentu. Ayah dan Alit membalas kebaikannya dengan kerapian dan kebersihan dalam memulung.

Treasure Box of SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang