SENNA P. DAUD

1.3K 263 28
                                    



Berapa orang anak Indonesia kenalanmu yang memiliki sebuah pulau? Banyak? Atau tidak ada?

Ya, bisa dipastikan tidak ada. Ini alasannya. Pertama, pulau di negeri kita tidak boleh dimiliki satu orang. Seluruh pulau adalah milik negara. Siapa pun boleh memiliki dan memanfaatkan tanah di sebuah pulau, tapi tidak boleh menguasai keseluruhannya. Kedua, kalaupun ada orang yang memiliki satu pulau kecil secara sah, biasanya orang itu adalah ilmuwan peneliti, pengusaha kaya, atau pejabat.

Tapi kenyataannya, ada anak laki-laki biasa yang memiliki sebuah pulau kecil. Aku.

Namaku Tan Angkasa. Umurku 10 tahun. Aku anak tunggal. Ayahku seorang dokter dan ibuku penulis cerita anak. Keduanya pengagum pahlawan nasional Tan Malaka. Itu sebabnya aku diberi nama mirip beliau. Awalnya kami tinggal di kota Batam. Tapi sejak setahun lalu, Ayah pindah tugas di Pulau Senarai, salah satu pulau kecil di Kepulauan Riau atau Kepri.

Di Kepri bertebaran sekitar 2.400 pulau besar dan kecil. Banyak di antaranya belum bernama dan tidak berpenghuni. Salah satu pulau kecil yang tak berpenghuni itu adalah milikku. Kini ia sudah diberi nama. Pulau Senna.

Bagaimana seorang anak kecil sampai bisa memiliki sebuah pulau?

Rangkaian kejadiannya sangat misterius. Sampai sekarang aku tidak mempunyai penjelasan yang masuk akal. Semuanya berawal dengan seekor kelelawar.

***

Pada hari-hari pertama di Pulau Senarai, aku selalu berharap ada keajaiban yang memindahkan kami kembali ke Batam. Aku tidak suka di sini. Di Batam semua ada: sekolah bagus, teman banyak, alat transportasi dan komunikasi canggih, listrik, komputer, Internet, dan apa saja yang bisa kamu sebutkan.

Tapi di Senarai, aku tak punya teman. Anak-anak langsung bekerja membantu orangtua sepulang sekolah. Sepertinya tak ada waktu bermain. Listrik pun tidak ada. Kami menggunakan genset yang diutamakan untuk penerangan di puskesmas. Sebagai dokter satu-satunya di Senarai, Ayah sering harus bertugas 24 jam. Rumah kami persis di sebelah puskesmas, jadi aku selalu bisa melihat antrean pasien. Mereka biasanya membawa ikan asin, telur penyu, ayam, pisang, atau kelapa untuk membayar pengobatan. Ayah tampak senang di sini.

Begitu juga Ibu. Dulu, Ibu biasa menggunakan komputer dan Internet tanpa batas ketika menulis buku. Di sini, hanya buku tulis, pena, dan penerangan seadanya. Ibu mengirimkan karyanya ke penerbit melalui pos. Atau menitipkannya pada kapten kapal patroli angkatan laut, ketika mereka mampir. Ibu tidak mengeluh.

Jadi aku mencoba tidak mengeluh pula. Meskipun aku harus bersekolah di pulau lain yang ditempuh selama satu jam menggunakan pompong. Pompong itu perahu motor kecil. Ayah mempunyai dua pompong. Satu untuk keperluan dinas. Satu lagi untuk keluarga. Ayah dan Pak Nasir mengemudikan keduanya bergantian, tergantung kebutuhan.

Senja itu di tepi pantai, kuarahkan teropongku ke laut. Siapa tahu aku bisa melihat Batam. Tapi Batam tersembunyi di balik cakrawala. Jadi kuarahkan teropongku ke ujung pulau. Tampak tebing mencuat dari kelebatan pepohonan. Aku tidak tahu apakah tebing itu masih bagian Pulau Senarai atau sebuah pulau tersendiri. Banyak pulau di sini letaknya saling berdekatan. Ada gua di tebing itu. Dan mendadak awan hitam berputar cepat keluar dari lubangnya. Terkejut kusadari awan itu adalah ribuan kelelawar yang terbang serempak menuju kemari. Aku terpesona. Kuikuti gerakan mereka dengan teropongku. Mereka pasti hendak mencari makan. Buah atau ikankah?

Secepat mereka muncul, gumpalan hitam itu segera menghilang di sisi lain pulau. Beberapa saat aku menunggu. Tapi tampaknya mereka tidak akan pulang ke gua sampai malam. Jadi aku menjatuhkan teropong bergantung di leher. Sungguh, pemandangan menakjubkan tadi. Kupikir tempat ini asyik juga. Sambil bersiul, aku berbalik pulang.

Treasure Box of SoulsWhere stories live. Discover now