Membaca Alam

853 231 22
                                    


Bandung, 1870


Lagi-lagi, Raden Kusuma melihat tiga anak laki-laki itu bermain di sana. Ingin rasanya dia bergabung. Daripada mendengarkan Tuan Guru berbicara terus. Bukannya dia tidak mengerti bahasa Belanda. Bahasa itu sudah dikuasainya, mendahului anak-anak bangsawan lain. Tapi terus berbicara bahasa asing membuat lidahnya lelah. Dan anak-anak itu bercanda dengan bahasa daerahnya. Terdengar merdu dan menyenangkan.

Kusuma tidak tahan lagi. Dia turun dari bendi. Dimintanya Mang Karta pulang saja. Toh, sekolah sudah dekat. Dia bisa berjalan kaki ke sana. Didekatinya anak-anak yang sedang berjongkok. Rupanya mereka mencari jangkrik.

"Untuk apa?" tanyanya.

"Jangkrik bisa memberitahukan tentang cuaca, Den!" sahut salah satunya.

"Panggil Kusuma saja," kata Kusuma. Anak-anak itu menyebutkan nama pula. Jaka, Anas, dan Ujang. "Bagaimana caranya?"

"Kalau jangkrik banyak bergerak dan berbunyi nyaring, tandanya mau hujan," jawab Ujang.

"Betulkah?" Kusuma takjub. Tuan Guru mengajarkan tentang alam, tapi yang berkaitan dengan Kerajaan Belanda saja. Belum pernah ada yang menarik seperti jangkrik ini.

"Buktikan saja sendiri," kata Jaka. Disodorkannya genggamannya pada Kusuma. "Buka tanganmu. Jangkrik ini buatmu."

Kusuma menurut. Seekor jangkrik dan segumpal tanah berpindah tangan. Kusuma menggenggamnya pelan-pelan. Serangga di tangannya bergerak. Dia tertawa geli.

"Jaka, kau mengotori tangan dan bajunya!" seru Anas.

"Aduh, maaf." Jaka mengusap baju Kusuma, kemejanya semakin ternoda.

"Biarlah, Jaka," kata Kusuma. Senang mendapatkan jangkrik. Anak-anak ini tak seburuk sangkaan teman-teman di sekolah. Raden Wirya dan Peter van Dijk selalu mencemooh rakyat jelata. Mereka dikatakan bodoh, kotor, dan penyakitan.

Mereka tidak bodoh. Memang kotor karena main di sawah, tapi jelas sehat.

"Jangkrikmu perlu kandang," kata Ujang. "Pakailah ini. Aku bisa bikin lagi."

Si jangkrik dimasukkan ke kandang kecil dari kulit bambu yang dianyam. Kusuma bisa melihatnya bergerak-gerak gelisah.

"Terima kasih," kata Kusuma. Lalu disadarinya sawah sudah ramai oleh paduan suara jangkrik. Keempat anak itu mendongak. Langit tampak cerah. Benarkah mau hujan? Kusuma ragu.

"Aku harus ke sekolah," katanya. Tapi baru sebentar dia berjalan, kilat melecut langit. Halilintar menggelegar. Hujan turun dengan deras. Dia harus berteduh.

"Kusuma! Kemari!" Jaka meneriakinya dari teras sebuah surau.

Tanpa pikir panjang, Kusuma berlari melintasi pematang. Tubuhnya basah dan kotor. Bagaimana buku-buku di dalam tasnya? Oh, Tuan Guru pasti marah besar.

"Jangkrik itu benar!" seru Kusuma. "Hebat. Dari mana kalian tahu?"

"Aki Yusuf," kata Anas. Aki Yusuf adalah guru di surau ini. Setiap sore, beliau mengajari anak-anak mengaji dan pengetahuan lain. Beliau pintar membaca alam.

"Membaca alam?"

"Ya," sahut Jaka. "Aki mengamati langit, tumbuhan, hewan, untuk memperkirakan cuaca, musim, dan lain-lain. Misalnya, untuk menentukan waktu membajak sawah, Aki menampung air hujan dalam mangkuk."

"Kata Aki, alam itu bukti kebesaran Pencipta. Kita harus dekat dengan alam agar dekat dengan-Nya," sambung Ujang.

Kusuma kagum. Mereka tidak bersekolah di sekolah Belanda, tapi belajar membaca alam. Mungkin Tuan Guru akan mengajarinya membaca alam juga. Jadi, ketika hujan reda, Kusuma pergi ke sekolah. Dia terlambat dua jam. Benar, Tuan Guru marah sekali. Dia tak mau mendengarkan penjelasannya.

"Kusuma jadi bodoh tertular anak kampung!" olok Wirya dan Peter.

"Mereka tidak bodoh!" bantah Kusuma. "Kalau kalian pintar, coba jawab! Jangkrik banyak bergerak dan berbunyi nyaring, itu menandakan apa?"

Wirya dan Peter saling pandang. Teman-teman lain penasaran. Mereka memandang Tuan Guru. Tapi Tuan Guru malah menghukum Kusuma berdiri di depan kelas.

Kusuma tidak berkecil hati. Tuan Guru ternyata tidak bisa membaca alam. Dia kalah pintar dengan Aki Yusuf. Di rumah, Kusuma akan ceritakan semuanya kepada Ramanda, dan minta izin belajar di surau Aki Yusuf. Ramanda pasti tidak berkeberatan. Mereka memang bangsawan. Tapi tidak merasa lebih tinggi dari rakyat jelata. Bersekolah di sekolah Belanda bukan untuk menjadi Belanda. Orang pribumi harus bangga dengan bangsa sendiri, begitu kata Ramanda selalu.

Jangkrik dalam kandang di sakunya berbunyi nyaring. Kusuma tertawa.  [AN]

Treasure Box of SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang