CHAPTER XXIII

180 23 4
                                    

Orang tadi dan juga Clara ikut serta menemani Max di ambulans. Kini mereka berdua sedang menunggu di depan ruang ICCU dengan cemas. Tak lama kemudian dokter yang menangani Max yaitu dokter Bryan ke luar.

"Dokter gimana keadaan Max? Jantung Max baik-baik aja kan, dok?" tanya Clara dan orang itu bersamaan, membuat mereka saling menatap satu sama lain lalu kembali menatap dokter Bryan.

"Kondisi Max sudah stabil. Sepertinya tadi Max kelelahan hingga Max collaps. Semoga dia bisa segera siuman. Ya, sudah. Kalian sekarang boleh masuk, tapi jangan lupa hubungi keluarganya, ya. Jika ada apa-apa, beri tahu kami."

Dokter Bryan pun pamit. Mereka berdua lalu masuk dan menghampiri ranjang Max. Mereka melihat Max yang terbaring lemah tak sadarkan diri dengan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya.

"Makasih. Makasih udah nganter Max ke sini," ucap Clara meskipun matanya tetap fokus pada Max tanpa melihat ke orang tadi.

"Sama-sama. Gue Louis. Temen satu sekolah lo. Lo temen sekelas Max, kan?"

Clara mengangguk lalu menoleh sebentar pada Louis.

"Iya, gue temen sekelas Max. Nama gue Clara."

Louis mengangguk.

"Cantik. Apa dia pacarnya Max, ya?" batin Louis.

"Oh, ya. Lo tahu nomer hape Devan, gak? Gue mau nelepon dia buat ngasih tau soal Max."

Clara mengangguk lalu memberikan nomor ponsel Devan pada Louis. Louis pun pamit keluar untuk menghubungi Devan.

Sementara Clara terus menatap kedua mata Max yang masih terpejam. Ia lalu menggenggam tangan Max pelan. Entah kenapa tangan Max terasa dingin bagi Clara padahal tadi dokter sudah mengatakan kondisi Max sudah stabil. Ia mulai menangis. Ia sudah berusaha menahannya dari tadi. Ia tak ingin ada yang melihatnya menangis, tapi ia tidak kuasa menahannya.

"Jangan sakit terus, Max. Please, ayo sembuh," ucap Clara lirih disela isak tangisnya.

Sementara itu tanpa Clara sadari Max sebenarnya sudah sadar dan ingin membuka matanya, tapi ia urungkan saat ia mendengar Clara menangis.

"Gue suka sama lo, Max. Gue gak mau kehilangan lo. Makanya gue mohon lo harus terus bertahan. Jangan sakit terus. Jangan kayak gini. Ayo, sembuh."

Max akhirnya tidak tahan melihat Clara menangis. Ia pun membuka matanya lalu mengusap rambut Clara pelan dengan tangan yang terpasang infus.

"Eh?"

Clara kaget 

"Kenapa nangis?" tanya Max pelan sambil tersenyum.

Clara langsung menghapus air matanya.

"Lo udah sadar? Ada yang sakit? Gue panggil dokter, ya?" tanya Clara bertubi-tubi.

Max menggelengkan kepalanya pelan lalu tersenyum.

"Gak usah. Gue baik-baik aja, Ra. Lihat deh hidung sama mata lo merah banget kayak kepiting rebus," ledek Max sambil membersihkan sisa-sisa air mata di pipi Clara.

Hati Max sakit melihat Clara seperti ini.

"Maafin gue ya udah bikin lo nangis,"ucap Max lirih.

Clara menggeleng.

"Jangan minta maaf. Lo gak salah apa-apa, Max."

Entah kenapa air matanya sudah menggenang lagi dan bersiap untuk tumpah. Ia merutuki dirinya sendiri kenapa ia bisa menjadi secengeng ini?

Max menatap mata Clara sendu. Ia semakin menyesal sudah membuat Clara menangis. Ia ingat apa saja kejadian yang gadis ini alami. Gara-gara ia, Clara pernah ditampar oleh Alea. Gara-gara ia, gadis ini menangis karena di jauhi Alea dan sekarang gadis ini menangis lagi juga karenanya. Namun, saat ini apa ia boleh egois sebentar untuk memiliki hati gadis ini? Ya, ia memang baru menyadarinya. Jika ia memang menyukai Clara. Semua hal yang ada pada Clara selalu berhasil merebut perhatiannya. Ia selalu ingat semua hal yang Clara lakukan dan apa yang gadis itu lakukan selalu berhasil membuat Max tersenyum bahagia.  Bolehkah sekali ini saja ia egois untuk menyatakan perasaannya pada orang yang ia suka? Meskipun ia tahu jika ia hanya bisa membuat gadis ini menangis. Max menutup matanya sebentar lalu membukanya kembali dan kemudian memegang pipi Clara yang lagi-lagi telah basah oleh air mata. Clara spontan memegang tangan Max erat yang kini masih menempel di pipi kiri Clara. Entah kenapa Clara tidak ingin melepasnya.

"Ra," panggil Max sambil menatap mata Clara dengan tatapan sendu.

"Iya," sahut Clara.

"Gu-shss!"

Tiba-tiba dadanya kembali berdenyut nyeri. Clara seketika panik melihatnya.

"Max, lo kenapa?! Gu-gue panggil dokter ya!" panik Clara.

Baru saja ia akan bangkit, tapi Max menahan tangannya.

"Gu ... gue su ... ka lo ... Ra."

Clara membulatkan matanya kaget. Ia masih tak percaya jika Max juga menyukainya.

"Ka ... lau gue bisa ber ... tahan. Bo ... leh gak gue ja ... di pacar lo?"

Air mata Clara semakin mengalir deras mendengarnya. Baru saja ia akan menjawab, tiba-tiba terdengar ringisan dari mulut Max. Tangan Max yang tadinya menyentuh pipi Clara hampir saja terlepas jika Clara tidak memegang tangan Max erat.

"Max! Lo kenapa, Max?!" panik Clara.

Clara semakin panik saat mata Max mulai tertutup.

"Jangan tutup mata lo! Jangan tutup mata lo, Max! Please! Bangun, Max! Jangan nakut-nakutin gue! Buka mata lo! Buka! Jangan bercanda! Ini gak lucu Max!"

Ia benar-benar panik sampai otaknya tidak bisa berpikir dengan baik untuk segera menekan tombol yang ada di sana.

🌻👬🌻


"Ishh! Kenapa dia gak ngangkat telepon nya, sih?!" kesal Devan yang sedari tadi sudah berulang kali menelepon Max.

Dari tadi ia dan Samantha terus mencari-cari keberadaan Max dan Clara.

"Tenang, Van. Kita cari lagi, ya?"

Samantha berusaha menenangkan Devan, meskipun ia sendiri khawatir pada Max dan Clara. Tiba-tiba ponsel Devan bergetar. Dilihatnya nomor tidak dikenal menghubunginya. Entah kenapa perasaannya semakin tak enak. Ia pun segera mengangkatnya.

"Hallo?"

Terdengar suara gaduh di sana.

"Hallo, Van. Ini gue Louis. Cepetan ke rumah sakit Max collaps."

Devan menegang. Tiba-tiba samar-samar Devan mendengar suara teriakan yang menyebut nama Max dan Louis pun langsung mematikan teleponnya secara sepihak. Membuatnya semakin panik.

"Hallo! Louis! Louis! Max kenapa, Louis?!" teriak Devan panik.

"Ayo, kita ke rumah sakit, Sam! Max Sam! Max!" panik Devan.

Mereka pun akhirnya segera pergi menuju rumah sakit.

Sesampainya di sana keduanya berlari tidak mempedulikan orang-orang yang menatap mereka, hingga mereka pun akhirnya berhenti di depan ruang ICCU.  Di sana mereka melihat Clara yang menangis sesenggukkan dipelukkan Louis. Devan dan Samantha segera berlari mendekati mereka. Clara yang melihat kehadiran Devan dan Samantha pun menoleh.

"Van, Sam. Max ...."

Clara tidak sanggup mengatakannya. Samantha langsung memeluk Clara berusaha menyalurkan kekuatan meskipun ia sendiri tak sanggup. Tiba-tiba pintu ICCU terbuka, dokter Bryan pun ke luar.

"Dok, gimana keadaan Max, dok? Gimana keadaan Max?" tanya Devan panik dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.

Dokter itu menghela napas.

"Max ...."

TO BE CONTINUED ....

1045 words
Ditulis : 14032019
Direvisi : 19012023

___Budayakan VOTE Setelah Membaca___

___🌻👬🌻___

Twin Love Dilemma (COMPLETED)✔Where stories live. Discover now