Semburat 4

196 136 157
                                    

"Tidak semua rasa terbalaskan, termasuk cinta yang tak selamanya mau untuk diabaikan."

🌌🌞🌌

    Sesuai dengan apa yang diucapkannya tadi kepada Jingga, kali ini Mega tidak membonceng vespa putih milik cowok itu. Ia memilih menyetop bus yang biasa melewati sekolahnya saat jam pulang. Selain akan mampir ke toko buku, ada hal lain yang membuatnya memilih pulang sendiri. Ia ingin membuat Jingga berpikir lebih keras dan menyadari bahwa yang dilakukannya salah. Walaupun sebenarnya ia tidak terlalu yakin, karena ia hanya sahabat bukan orang yang berharga yang tanpa kehadirannya bisa mempengaruhi Jingga.

    "Kursi sebelah lo kosong?"

   Mega yang tadinya memandang keluar melalui jendela bus, menoleh ke sumber suara. Ia sempat kaget mendapati Pelangi yang baru saja bertanya. Tapi, cepat-cepat ia menyembunyikannya dan mengangguk seraya tersenyum mempersilahkan.

    Bus kembali berjalan setelah beberapa menit berhenti di halte yang berada tak jauh dari sekolahnya. Mega menunduk, memainkan jarinya. Jujur saja, ia ingin mewakili Jingga untuk meminta maaf kepada lelaki yang ada disebelahnya ini. Tapi, mulutnya justru sulit untuk merealisasikan keinginannya.

    "Lo anak SMA Pelita?" tanya Pelangi tiba-tiba.

    "I-iya," jawab Mega ragu. Takut Pelangi kenal dengannya dan mengetahui kalau dirinya adalah sahabat Jingga yang bisa membuatnya semakin sulit untuk meminta maaf.

    Pelangi manggut-manggut. Setelahnya, cowok itu bermain ponsel tanpa beraniat melanjutkan obrolan.

    "Lo kenal Jingga?" entah mendapat keberanian dari mana, Mega menyebut nama itu di depan Pelangi.

    Tangan Pelangi yang tadinya men-scrol ponselnya terhenti. Mega mengamati Pelangi, tidak ada perubahan yang menunjukkan cowok itu marah.

    "Kenal. Pasti lo lihat kejadian di kantin tadi siang ya?"

    "Nggak sengaja." Mega menghela napas dalam, mungkin saat ini tepat untuk meminta maaf, "Gu-gue mewakili Jingga minta maaf sama lo. Karena sahabat gue itu, tadi siang mempermalukan lo di depan umum."

    Pelangi menatapnya tak percaya, "Lo sahabatnya dia?"

    Mega mengangguk, "Lo maafin Jingga 'kan?" tanyanya penuh harap.

   "Gue nggak ambil hati, jadi lo nggak perlu mintain dia maaf kayak gini. Lagian tadi juga kesalahan gue yang mau aja nerima dare sialan dari temen gue buat deket-deket sama Ezra." Pelangi menjawab dengan lengkungan senyum yang membuat matanya hanya terlihat segaris.

    "Oh ... Ternyata cuma tantangan."

    "Ya iyalah, gue masih normal."

    "Tapi kalau semisalnya teman-teman tetap salah paham, lo nggak akan marah sama Jingga 'kan?"

    "Iya, asal jangan lo yang mandang gue gay."

    Mendengar penuturan Pelangi, Mega mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. Untuk pertama kali ia merasakan wajahnya merona selain karena Jingga.

    "Eh, kenapa? Gue salah ngomong ya?" Pelangi terkekeh menyadari gadis yang duduk disebelahnya ini salah tingkah, "Btw, dari tadi kita udah ngobrol tapi belum kenalan."

    Setelah memastikan semburat merah itu sudah tidak menghiasi wajahnya lagi, Mega menatap Pelangi. Karena merasa tak sopan bila di ajak bicara tetapi tidak menatap orang yang berbicara.

    "Gue Pelangi. Pelangi Aldegaran." Pelangi memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.

    Mega menerima uluran tangan Pelangi, "Megaira Attasila Reyna. Panggil aja Mega."

    "Kalau di sekolah atau di manapun lo lihat gue, jangan sungkan-sungkan nyapa," ujar Pelangi setelah jabatan tangan mereka terlepas

    "Lo juga. Tapi waktu sama Jingga gue nggak janji." Mega menyahut tak enak .

    "Soal itu mah nggak usah dibilangin, gue ngerti kok." Untuk kedua kalinya Pelangi menampilkan senyum yang membuat Mega tak ingin berhenti melihatnya.

🌌🌞🌌

    Sudah setengah jam lebih sejak pulang sekolah, Jingga berada di toko buku favorit Mega. Padahal ia belum mengetahui pasti apakah tempat ini yang akan di tuju oleh Mega. Melalui dinding kaca gedung, Jingga bisa melihat keadaan diluar sana. Senyumannya terukir tipis saat pandangannya menangkap gadis yang sejak tadi ditunggunya tengah berlari memasuki tempat ini karena hujan mulai turun dengan derasnya.

    Secara diam-diam Jingga mengikuti langkah Mega menuju rak yang berisikan berbagai judul novel. Mega tampak melihat-lihat sebentar sebelum tangan mungilnya terulur mengambil salah satu novel tebal. Dari tempat persembunyianya, Jingga mulai mengayunkan kakinya mendekati Mega dan sengaja menyenggol gadis itu.

    'Bruk'

    Mega terdengar berdecak kesal karena novel yang sedang di bacanya jatuh ke lantai. Ia sedikit membungkuk dan memungutnya sebelum menengok ke belakang. Mega nampak terkejut saat pandangannya langsung bertabrakan dengan dada bidang Jingga yang berada sangat dekat dengannya. Mega berjalan mundur beberapa langkah untuk membentangkan sedikit jarak dengan Jingga.

    "Lo jail banget sih jadi orang." Mega mendorong pelan tubuh Jingga lantas berjalan meninggalkan cowok itu yang tengah tertawa lepas melihat raut menggemaskan yang baru saja Mega tunjukkan.

    "Gue kok ditinggalin. Padahal niat gue kesini mau ngajakin lo pulang bareng," ujar Jingga setelah menyusul Mega dan berjalan beriringan dengan gadis itu.

    Mega hanya diam. Sampai ia membayar di kasir dan Jingga yang masih setia mengekorinya. "Gimana? Mau pulang bareng?" tanya Jingga saat mereka berdua sudah berada di pelataran toko buku.

    Merasa angin bertiup semakin kencang, Mega merapatkan cardigannya. Ia menyipitkan matanya, ternyata hujan telah berhenti, membuatnya tak urung mengangguk.

🌌🌞🌌

Happy reading ^^

Semburat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang