31 | ONE IN DIVERSITY 0.2

4.6K 514 47
                                    

GHAZI memutuskan pulang pukul 2 pagi setelah menyelesaikan semua tugasnya.

Ia memang sengaja pulang terakhir, tidak bisa pulang sebelum semua anggotanya pulang. Maka saat ban vespanya bermasalah, ia hanya bisa mendesis kesal karena tidak bisa meminta bantuan kepada siapapun.

"Sial!" gerutunya, menendang ban vespanya yang bocor.

Tetapi, Ghazi tidak benar-benar sial karena Gaza muncul dan tersenyum lebar saat ekspresi wajah Ghazi gusar dan kebingungan.

"Ada yang bisa aku bantu, Ghaz?"

Ghazi mengangkat alisnya, tidak menyangka bahwa saudaranya ada di sana. "Lo kok bisa di sini?"

Gaza justru tersenyum. Mendekat kepada Ghazi. Suasana parkir memang sepi dan gelap. "Aku nonton teater kamu. Tapi sayangnya aku terjebak kerumunan mahasiswa baru di dalam berjam-jam alih-alih menemukanmu dan mengucapkan selamat. Ternyata kamu di sini. Tadi aku nyari kamu begitu acara selesai."

"Ada yang mau lo omongin?"

"Iya."

"Apa?"

"Eum, gimana kalau aku bantuin kamu dulu untuk menangani motor kamu yang... bannya bermasalah?"

Ghazi menghela napas. Namun mengingat bahwa ini nyaris pagi dan badannya sudah tidak karuan untuk mencari bantuan lain, terpaksa ia menerima tawaran Gaza.

"Tapi aku ambil mobil pick up di La Fadz dulu. Nggak masalah kan kalau kita ke La Fadz?"

Ghazi terdiam, menimbang banyak hal.

"Kamu nggak mau kan vespa kesayanganmu itu hilang saat kita nyari bengkel yang buka jam segini? Setidaknya kita harus membawanya ke tempat yang aman karena aku nggak yakin jam segini masih ada bengkel yang buka. Aku pikir, kampus bukan tempat yang aman."

Ghazi setuju. Ia pernah tidak sengaja meninggalkan helm saat kegiatan RK sedang padat-padatnya. Ia lupa mengamankannya ke sekretariat hingga ketika pagi tiba helmnya sudah raib; entah siapa yang membawanya. Padahal itu helm kesayangannya. Diberikan oleh Jude sebagai hadiah ulang tahunnya dua tahun lalu.

Ghazi setuju. Tidak ada pilihan lain.

☕☕☕

Kondisi La Fadz benar-benar sepi.

Gaza menyuruh Ghazi untuk mengikutinya ke lantai 3 karena dia harus mencari kunci mobil pick up yang biasa digunakan untuk mengangkut barang atau bahan makanan. Mobil itu biasa dipakai oleh Ilyas dan karyawan dapur. Gaza jarang sekali memakainya, jadi ia tidak tahu pasti dimana kuncinya diletakkan. Tetapi ia tahu kalau Ilyas orang yang rapi dan suka menaruh barang di lemari kamarnya. Jadi dia akan mencarinya di sana dan membiarkan Ghazi menelusuri ruangan tengah lantai tiga.

Maka dengan modal menutupi vespa Ghazi dengan kain hitam yang biasa digunakan RK untuk pementasan, Ghazi mengikuti Gaza dan untuk sementara waktu mengabaikan vespa kesayangannya meski sebenarnya pikirannya tidak tenang.

Mungkin orang awam akan membiarkan saja vespa butut milik Ghazi yang sering menyusahkannya karena sudah beberapa kali masuk bengkel. Tetapi bagi Ghazi vespa 150-nya sangat berharga. Setidaknya karena vespa adalah satu-satunya barang mewah yang ia punya. Tidak banyak yang tahu kalau harganya mencapai 60 juta. Satu-satunya barang yang dibeli menggunakan uang Papa dan sampai sekarang masih digunakannya.

Ghazi memang munafik. Mengaku benci Papa tapi tidak pernah menolak untuk diberikan sesuatu. Tetapi vespa adalah pengecualian. Ia memang menerima uang bulanan pemberian Papa. Tetapi tidak pernah ia gunakan dan bahkan selalu ia serahkan kepada bunda Aisyah untuk tambahan pengelolaan panti asuhan Lentera. Sementara ia hidup dari hasil tulisannya. Ia sering mengirimkan tulisan opini dan juga naskah teater atau skenario film pendek kepada orang kenalannya yang bekerja di media online atau perusahaan perfilman.

La fadzWhere stories live. Discover now