21 | D I S K U S I

3.7K 521 48
                                    

PUKUL sebelas malam, Ghazi pulang ke rumahnya.

Tidak ada yang aneh jika Ghazi sampai pulang larut. Seluruh isi rumah tahu kebiasaan Ghazi sejak masuk kuliah beberapa tahun lalu. Kadang, pada saat pementasan teater dan kegiatan kampusnya sedang padat-padatnya, Ghazi bahkan tidak pulang dua hari dan sama sekali tidak tidur. Pagi-pagi sekali, ia akan pulang dan maraton tidur seharian. Untuk alasan itulah, Ghazi mempunyai hak penuh untuk membawa kunci rumah.

"Ghazi!" panggil seseorang. Reflek, Ghazi yang nyaris menjejakan kakinya di tangga pertama menoleh.

"Lo belum tidur?" tanyanya sama-sama reflek. Ghazi jarang sekali menanyakan hal-hal semacam ini pada Gaza.

Gaza mengulum senyum, kemudian mengangguk. "Nungguin kamu."

Ghazi menghela napas, agak tidak terbiasa melihat Kakaknya tersenyum karena pertanyaannya. Tetapi, diam-diam ia senang. Hal yang jarang sekali terjadi padanya saat pulang dari kampus begini.

"Boleh bicara sebentar? Kalau nggak keberatan, ada yang mau aku diskusikan."

Ghazi terdiam, ia menimbang apakah ia harus mengabaikan permintaan Gaza seperti biasa atau tidak. Tetapi, ia mengingat kata-kata Alia.

"Jangan menghindar lagi, Ghaz. Sudah cukup merasa jadi orang paling tersakiti. Di dunia ini, nggak hanya lo yang pernah punya masa lalu buruk. Semua orang punya. Jadi jangan jadi pengecut. Lo udah dewasa. Udah saatnya menghadapi semua sebelum datang masanya lo akan menyesal sedalam-dalamnya."

Yang kemudian membuatnya mengangguk dan mendahului Gaza duduk di sofa panjang ruang tengah.

Ada gurat keterkejutan di wajah Gaza. Mengingat bahwa biasanya Ghazi tidak akan memedulikannya.

Ia mengucap syukur, lalu menyusul Ghazi ke ruang tengah, duduk di hadapan Ghazi yang sangat santai dengan posisinya. Sama sekali tidak merasa perlu mengembuskan napas beberapa kali seperti Gaza.

"Malem-malem gini apa yang mau lo diskusikan, Gaz? Pasti sangat penting. Menilik, lo sampai bela-belain nungguin gue segala."

Mengejutkan, kali ini Gaza tak perlu berusaha keras supaya Ghazi mau mendengarkannya. Ghazi sepertinya dalam mood baik malam ini, jadi Gaza tak perlu berusaha terlalu keras untuk membuat Ghazi meresponnya nanti.

"Ya, sepertinya aku nggak perlu basa-basi terlalu banyak, Ghaz."

"And you've done."

Gaza tertawa, membuat Ghazi tergugu sebentar. Ia tidak pernah mendengar tawa Gaza selama... mungkin memang tidak pernah.

"Oke, ini masalah rencana Papa yang ingin kita memutuskan siapa yang lebih dulu menikah." Gaza mengatur napasnya, ia tidak menyangka akan tertawa mendengar perkataan Ghazi. "Jadi, bagaimana?"

"I see," tukas Ghazi. Mengangguk-angguk mulai memahami arah perkataan Gaza. Dia sudah memulainya, Ghazi rasa tak masalah kalau melakukan percakapan normal sebagai seorang saudara. Ia tidak mau menghindar lagi. Meskipun ya, dia sebenarnya belum begitu nyaman berbicara panjang lebar dengan Gaza tanpa dibarengi amarah. Tapi malam ini berbeda. Mungkin latihan olah sukma tadi cukup berpengaruh. Setidaknya untuk saat ini ia bisa mengontrol emosinya.

"Sebenarnya, Gaz. Seriously, gue sama sekali nggak tertarik sama tawaran Papa. Gue nggak pernah berpikir akan berakhir dengan melakukan pernikahan secepat itu. Menikah itu gagasan yang absurd."

Gaza mengerti, Ghazi bukan dirinya. Oleh karena itu, ia tak mau memaksakan pemikirannya pada Adiknya.

"Gue masih mau berkarir, masa depan gue masih panjang. Well, berakhir menikah dengan seseorang yang bahkan nggak gue kenal dengan baik bukan ide yang bagus. Setidaknya bagi gue menikah bukan hal segampang itu." Ghazi membenahi posisi duduknya. Lebih karena ia kurang nyaman Gaza melihatnya slengean begini.

La fadzWhere stories live. Discover now