2 | G A Z A

9.2K 754 30
                                    

BARU saja Ilyas membuka pintu kaca sebuah kafe, ia tersenyum begitu mendapati seorang laki-laki duduk sembari sesekali mengernyitkan keningnya. Matanya fokus menatap laptop yang menyala di depannya. Sesekali ia mengembuskan napasnya dan menyandarkan tubuhnya ke belakang, tampak kelelahan.

"Istirahat, bro! Kerja mulu. Udah kaya juga!"

Gaza, begitu orang-orang memanggilnya, hanya tersenyum begitu menyadari sahabat sekaligus partner kerjanya menginterupsi.

"Katanya nggak berangkat kerja, Sabrina lagi hamil, kan?"

Ilyas menyeret satu kursi di depan Gaza sembari mengernyitkan kening mendengar pernyataan Gaza. "Cuma masuk angin, Za. Dia malah nyuruh aku buat berangkat aja. Kayaknya akhir-akhir ini doi alergi sama aku. Tapi kalau lagi muntah-muntah minta ditemenin manja banget. Nggak ngerti deh sama perempuan."

Gaza tertawa melihat tingkah Ilyas yang sering ngomel terus akhir-akhir ini. Jelas-jelas ia melihat ada prospek ayah terbaik yang terpancar dari wajahnya begitu tahu kalau Sabrina sedang mengalami morning sickness beberapa hari ini. Tapi ia tidak percaya kalau istrinya hamil. Kata Ilyas, istrinya lebih mirip wanita PMS daripada wanita hamil karena sering marah-marah sendiri kalau sedang nggak enak badan. Apalagi kalau sedang pingin sesuatu. Harus segera diturutin. Padahal Ilyas sudah memohon-mohon agar ke dokter saja.

Tapi seperti kata Ilyas. Sabrina lagi moody sekali. Jadi bukan malah menyambut dengan baik. Malah menuduh Ilyas nggak paham kemauan istrinya.

"Aminin aja kenapa Yas kalau istri kamu tuh hamil. Jadi statusmu akan segera berubah dalam waktu dekat. Jadi... Abi Ilyas!" katanya kemudian tertawa.

Tapi Ilyas justru melempar tisu pada Gaza. Menganggap ia menertawakannya karena memiliki istri yang ngambekan. Padahal Gaza yakin kalau Ilyas cukup pintar untuk mengetahui ciri-ciri perempuan hamil.

"Nah, kalau udah ngomongin status. Harusnya antum yang jadi tokoh utama, Za," tukas Ilyas. Melempar balik bahan candaan mereka.

"Hafidz al-Qur'an, mapan, sedang menyelesaikan program master di jurusan manajemen, it means you are an educated man, punya usaha sendiri dan... usiamu udah 26 tahun. Kata Ustadz Hanafi, nggak ada alasan untuk menunda. Apalagi coba yang mau kamu kejar. Jadi... kapan nikahnya, Za?!"

Gaza menggeleng-gelengkan kepala seperti tidak setuju dengan pendapat Ilyas. Lebih tepatnya, ia tidak sepakat tentang gambaran kriteria kesiapan menikah dari Ilyas. Lagipula, Gaza bukannya tidak mau. Hanya saja kesempatan belum memihak kepadanya.

"Kamu nggak berusaha nunda nikah kan, Za?" tanya Ilyas curiga begitu sahabatnya tidak merespon apapun sindiran darinya. Ia malah santai berjalan ke arah pantry. Meminta karyawannya mengisi kopi lagi ke cangkirnya yang sudah kering.

"Oh, enggak. Aku lagi ikhtiar juga kok," kata Gaza kembali duduk.

Ilyas memutar bola matanya. "Masa? Udah sejauh mana ikhtiarmu? Kok aku nggak lihat perubahan apa-apa sih?"

Gaza justru mendikan bahu begitu mendengar Ilyas bertanya. Seolah-olah tidak ingin memperpanjang pembahasan ini.

"Tenang, nanti aku kasih tahu begitu ada kabar baik. Oke?" katanya. "Lagipula, Yas. Cari istri yang satu visi dengan kita itu tidak mudah. Harus hati-hati."

Gaza duduk kembali. Menyeruput kopinya begitu melihat Ilyas mengernyitkan keningnya.

"Nggak pesen kopi?" tanyanya. Namun Ilyas menggeleng. Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Mengorek informasi tentang Gaza lebih menarik daripada secangkir kopi.

"Alurnya kan jelas, Za. Kalau antum kesulitan mencari seorang perempuan. Tinggal minta bantuan sama guru ngaji. Ngasih proposal lengkap dengan kriteria yang kamu inginkan. Ketemu. Beres!"

La fadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang