Lova masih diam. Membiarkan adiknya yang menunduk dengan segala pemikiran yang diutarakannya saat ini.

"Mimpi gue kejauhan ya, bik?" Arnav kini berani mengangkat kepala. Menatap ke arah kakak perempuannya.

"Gak!" Lova menggeleng cepat. "Sama sekali enggak." Lova bangkit dan menjauh dari kerjaannya. Mendekat ke arah adiknya yang duduk di kursi tempat mereka makan.

Senyuman hangat tersemat di sudut bibir Lova. "Gue bakal bantu lo ngewujutinnya. Lo tau kan, kuliah kedokteran itu butuh banyak biaya. Jadi kalo gue nyanggupin lo kuliah, lo harus belajar bener-bener dan cepet selesaiin pendidikan lo. Ngerti?"

Mata Arnav memerah menahan airmata. Dengan senyuman Arnav mengangguk menyetujui.

Lova memeluk Arnav dengan tulus. Meskipun mereka tidak selalu akur, tapi jangan tanya seberapa mereka saling menyayangi sebagai saudara.

"Adek gue udah gede." Arnav terkekeh sesaat merasakan usapan lembut tangan mungil di kepala belakangnya.

***

Si anak pintar dari kelas IX A. Guru menyebutnya salah satu dari keajaiban. Pasalnya, dia seorang murid laki-laki yang jarang sekali ada siswa yang konsisten dengan kepintarannya.

Tentang sikap, sama seperti murid laki-laki pada umumnya. Melanggar aturan sekolah juga sesekali dilakukan.

Namanya juga anak menuju remaja.

Tapi banyak guru menyayangi dan mengenali anak laki-laki ini. Jelas karena kepintarannya itu.

Pandai dalam akademik, non akademik, olahraga dan seni. Bocah berumur 15 tahun yang masih menyimpan ketampanannya dibalik kulit yang menghitam karena gosong terkena matahari.

Mereka menyebutnya Alder Reuven. Anak laki-laki yang sekarang sedang hormat bendera dengan telanjang dada bersama tiga orang teman lainnya.

Matahari tepat di atas kepala. Siang ini sangat terik. Murid-murid lain bahkan hanya bermain di kelas masing-masing. Sesekali lewat dan mentertawakan para murid yang sedang hormat bendera itu.

"Eh, katanya ada guru bahasa inggris baru loh." Salah satu dari mereka berseloroh masih dengan posisi menghormati sang merah putih.

"Iya. Udah sebulan ngajar. Katanya mungil-mungil imut gitu. Manis." Anak dengan mata sipit memberi komentar.

"Tapi katanya galak. Tapi friendly juga." Si kepala botak nimbrung.

"Apa sih lo? Tapi-tapi mulu." Bocah yang pertama berseloroh berujar kesal.

"Gak pernah liat gue." Alder mulai tertarik dengan pembicaraan teman-temannya.

"Miss itu ngajar kelas F, G, H, I sama J. Jadi ya gak bakal masuk kelas kita." Si sipit membalas.

"Kecuali mem Cicih kagak masuk." Kembali si botak menimpali.

"Namanya siapa?" Alder bertanya setelah menyeka peluh dari keningnya.

"Love? Lovi? Eh siapa, ya? Lov-Lov gitu deh awalnya." Begitu sok taunya si botak menjawab.

"Arlova Zemira."

"Kalian lagi! Dan selalu kalian!" teriakkan itu terdengar setelah mata segaris menyebutkan nama guru baru yang sedang mereka bicarakan.

Suara keras itu terdengar dari guru yang sudah membuat mereka berada di lapangan tanpa memakai baju dan hormat bendera diterik matahari.

"Kenapa selalu gak buat PR?" setelah berkata dengan nada tinggi, bapak itu memukul keempat anak di depannya dengan buku tebal yang di lipat tepat di belakang kepala.

12 [Sudah Pindah Ke Ican Novel Dan Kubaca]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang