Pp

5.1K 477 33
                                    

Hai pembaca cerita 12 yang pada baik banget setia nungguin cerita ini up, spam komen dong buat mbak Uti dicerita ini 😥 pliiisss. Pengen tau seberapa buat bapernya cerita ini ke pembaca 😖. Yah yah yah, spam komen yah? *maksa

💙💙💙

Mata Arnav membuka lebar saat keluar dari kamarnya untuk menunaikan panggilan alam.

Banyak kertas berserakan memenuhi satu ruangan kecil yang berfungsi sebagai ruang tamu, berkumpul dan juga ruang makan sekaligus.

"Omaiygadh Arlova Zemira! Lo ngapain sih malem-malem begini masih melek, bik? Ini apa coba? Udah kosan kecil dibuat kek kapal ancur lagi."

Arnav berkecak pinggang melihat ke arah Lova yang memutar matanya malas.

"Bacot deh, Arnav. Kalo mau kencing tinggal lewat aja sih. Protes mulu." Lova kembali dengan kegiatan menulisnya. Sesekali melihat ke arah laptop yang dibelinya dengan jerih payah menjadi penyiar.

Tidak bisa Lova pungkiri bahwa semakin bertambah tahun usia bumi, dunia menjadi semakin canggih. Bukan ingin bermegah, tapi alat-alat seperti gadget dan laptop sudah mulai menjadi kebutuhan.

Setelah menjadi penyiar sejak masuk kuliah, akhirnya Lova bisa membeli laptop saat sedang sibuk dengan skripsinya.

Sebelum itu, Lova menjadi anak warnet yang mengerjakan segala tugasnya di warung internet. Untungnya ada warnet yang buka 24 jam seperti warung makan di terminal. Sehingga Lova kadang bisa pulang dini hari setelah tugas-tugasnya selesai.

Lova bersyukur, sebelum skripsinya dimulai, dia sudah bisa membeli laptop sendiri. Juga bisa menambah pekerjaan sebagai penjaga perpustakaan dan menulis beberapa artikel.

"Buat apaan sih, bik?" kembali Arnav bertanya setelah menyelesaikan urusannya di WC.

Lova menghela napas lelah. "Buat RPP dan sebagainya," jawab Lova malas-malasan.

"RPP doang muka sampe jadi tua begitu." Lova mendelik ke arah Arnav yang hanya mencebik.

"RPP doang lo bilang? Ini masa depan anak murid gue nantinya. Hebatnya, gue gak bisa buat beginian." Wajah Lova merah menahan airmata. "Dan umur gue baru 27 tahun."

"Kok bisa? Bukannya udah diajarin pas lo kuliah?"

"Nav, someday kalo lo kuliah di keguruan juga, lo harus perhatiin bener-bener mata kuliah yang materinya soal silabus sama RPP begini. Even lo gak suka sama dosennya." Kali ini Lova benar-benar berniat memberikan nasehat untuk adik semata garengnya ini.

"Idih, siapa juga yang mau ngikutin jejak lo."

"Jadi? Lo gak mau kuliah? Mau kerja apa? Masih mau ikut gue kalo kerja?" mulut Lova memberondong segala pertanyaan yang tidak satupun sempat dijawab Arnav. "Ogah! Kalo lo kuliah gue masih mau nampung. Kalo lo udah kerja, kagak mau gue dikintilin lo lagi."

Arnav mendengus mendengar ucapan sang kakak yang tidak berjeda.

"Elah itu mulut apa asep sepur sih, bik? Kagak berenti banget ngoceh." Lova hanya mencebik. "Gue mau jadi dokter." Arnav menunduk memainkan jarinya.

Lova membenarkan kacamatanya. Melihat ke arah Arnav dengan pandangan serius.

Suasana kosan mereka menjadi sunyi. Hanya dentingan jam yang menunjukkan pukul 00.30 dini hari terdengar.

"Bapak selalu ngeluh tiap asam uratnya kambuh. Dan harus nunggu beberapa hari biar bisa ketemu sama dokter spesialisnya karena rumah kita yang ada di kampung. Nebus obatnya lama karena uang yang kurang. Gue pengen bantu orang-orang kayak bapak tanpa peduli mereka punya uang apa gak, bik. Supaya mereka bisa sehat sama kayak orang-orang yang punya duit lebih."

12 [Sudah Pindah Ke Ican Novel Dan Kubaca]Where stories live. Discover now