9. Kedekatan

37 10 5
                                    

Cessia baru tahu, ternyata tidak bicara dengan orang yang disukai itu tidak enak. Padahal mereka berdekatan. Terlebih lagi sekarang mereka satu motor.

Cessia yakin, bahwa kemarin-kemarin mereka juga tidak bicara saat di atas motor. Tapi kenapa sekarang dia merasa tidak nyaman? Apa mungkin karena kejadian tadi? Ia juga tidak tahu.

Cessia turun dari motor, membiarkan Aldorf di luar yang masih memarkirkan motor. Melangkah memasuki rumah, dia sudah bertemu dengan Fery yang keluar dari kamarnya. Dia masih heran, Fery pakai apa ke sekolah? Bisa sampai di rumah dan sekolah dengan cepat, seingatnya Aldorf dan dirinya berangkat lebih dulu.

"Mau makan apa?" tanya Fery melihat Cessia bergeming.

Cessia menggeleng. "Aku gak nafsu makan, kalian makan berdua aja ya." Cessia melangkah melewati Fery.

"Hm, bolehkah aku masuk ke kamarmu?"

Cessia yang sudah berada belakang Fery, terkejut. Dia membalikkan badannya menatap Fery dengan tidak percaya. "Mau ngapain kamu di kamarku?! Kamu mau bikin gosip yang tidak-tidak? Apa kata tetangga?"

Fery melipat tangannya di dada dan menyandarkan bahunya di tembok. "Menurutmu, kamu yang tinggal serumah dengan dua cowok seusiamu tidak akan digosipin?"

Cessia hendak mengeluarkan suaranya, deheman Aldorf membuat mereka menoleh.

"Aku tidak akan makan siang, jadi makanlah tanpa aku." Setelah mengatakan itu, Aldorf langsung menuju ruang keluarga, seperti dia akan naik ke lantai dua.

"Jadi mau apa kamu ke kamarku?"

"Ada hal penting yang harus aku tanyakan."

***

Cessia memutar bola matanya malas, melihat Fery yang sibuk membuat tembok ungu transparan, agar manusia tidak bisa memasuk ke dalam sini, apalagi menguping. Bukan hal itu yang membuatnya kesal, tetapi bukankah jika mereka bisik-bisik atau menggunakan bahasa Spacis Aldorf juga tidak bisa mendengarkan mereka?

Netranya menatap rambut cokelat Fery yang bergerak mengikuti tubuh Fery. Sayap bening di punggung Fery tidaklah berkilauan. Cessia menatap pantulannya di cermin, rambut putih panjangnya yang tergerai, iris matanya yang masih berwarna ungu dan terakhir tertuju pada sayap beningnya yang berkilauan putih. Seingatnya sebelum dia datang ke Hoins, sayapnya tidaklah berkilauan. Jadi, apa yang terjadi?

Fery sudah selesai membangun tembok itu, dia duduk di kursi belajarnya. Cessia kira Ferry akan duduk di sana, tetapi ternyata Ferry menggerakkan kursi beroda itu lalu berhenti tepat di hadapannya.

Cessia yang duduk di tepi kasur, terkejut, hampir saja kakinya terkena roda kursi. Dia menatap Fery yang sedang terkekeh dengan tajam. "Cih, jadi ada apa?" tanyanya dengan ketus.

"Aku hanya bercanda. Lagi pula, kamu juga tidak akan terluka hanya karena benda manusia ini. Ingat, kita dengan ini kita seperti berada di Lebis."

Cessia memutar bola matanya. Kesal antara sudah dijelasin oleh Fery tadi dan juga candaan Fery tadi.

"Jadi kenapa pembicaraan kita ini tidak boleh diketahui Aldorf?"

"Ya karna dia manusia, kita peri, jadi dia tidak boleh dengar."

"Terserah."

Cessia merasa tidak suka dengan Fery yang menatapnya lekat. Padahal saat Aldorf menatapnya lekat, dia akan merasa gugup. Apakah itu juga salah satu tanda bahwa dia menyukai Aldorf?

"Kamu serius bilang suka ke Aldorf?"

"Kamu tau dari mana?"

"Jawab aku dulu, nanti aku jawab."

Lebis : DivorcioDonde viven las historias. Descúbrelo ahora