"Kebiasaan deh, datang-datang bikin berisik!" Tegur Floriska seringkali.

Bio terkekeh geli melihat kelakuan Marco.

“Wihh, baunya enak banget!” seru Marco beberapa saat kemudian ketika dia sampai di dapur yang berseberangan langsung dengan ruang tengah. Floriska ada di sana, sedang mengaduk sesuatu di wajan.
Rambut panjangnya terikat tinggi. Beberapa helainya lepas dari tali rambut dan menutupi sebagian wajahnya. Membuat cewek itu tampak terganggu. Mencoba menyingkirkan helai-helai tersebut dengan meniup-niupnya.

Menyadari kehadiran Marco, dia pun menoleh ringan. “Ko, benerin rambutku dong,” pintanya langsung. “Tanganku terlanjur kena bumbu, nih,”

Dengan cekatan, Marco melakukan apa yang diminta sahabatnya itu. Menarik lepas tali rambut Floriska lalu mengumpulkan helai-helai rambut berantakan itu, menyatukannya lalu mengikatnya ekor kuda.

 Menarik lepas tali rambut Floriska lalu mengumpulkan helai-helai rambut berantakan itu, menyatukannya lalu mengikatnya ekor kuda

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Rambut Floriska begitu halus, dan Marco senang berlama-lama bermain dengannya. Jangankan di rumah, ketika di sekolah pun Marco melakukannya.

Tempat duduk Marco tepat di belakang Floriska, jadi ketika cowok itu bosan, dengan sengaja atau tidak sengaja, dia selalu meraih dan memainkan rambut sahabatnya itu. Seperti sudah kebiasaan begitu saja.

Terkadang Floriska menyeru jengkel ketika jemari Marco mulai memelintir rambutnya dengan gemas, sampai kepalanya tertarik ke belakang. Membuatnya tak bisa berkonsentrasi memperhatikan pelajaran. Sementara Ibram teman sebangkunya terkekeh.

“Jambak balik aja, Flo, rambutnya! Cukur sekalian biar botak!” sahut Ibram seringkali.

“Udah selesai,” ujar Marco kemudian dengan bangga, meskipun kuncir ekor kuda itu miring. Kendati sudah rampung, tangannya masih saja enggan lepas, dan mulailah jemarinya memilin gemas helai-helai rambut Floriska.

“Kalau udah, lepasin dong,” komentar Floriska sambil menggerakkan kepalanya pelan agar rambutnya terlepas dari genggaman Marco.
Marco terkekeh pelan.

“Loh kok kakap asam manis?” tanya Marco setelah akhirnya menyadari masakan apa yang sedang dituang Floriska dari wajan ke piring lebar.

“Sori, nggak jadi masak cumi asam manis. Tante Sandra ngasih semua stok ikannya dari kulkas pas aku ke rumahmu tadi. Banyak banget. Katanya, dia udah nggak punya waktu buat masak-masak. ‘Bawa semua Flo, masak aja, daripada mubadzir. Tante udah nggak sanggup pegang-pegang panci,’” Floriska menirukan ucapan Tanta Sandra padanya, lalu dia berbalik untuk meletakkan piring berisi ikan kakap itu di meja makan. Marco mengekorinya seperti biasa. “Omong-omong, Tante Sandra keliatan frustasi banget. Ada apa?”

“Oh itu,” Marco terkekeh. “Jadwal pameran sclupture-nya dimajuin. Tante Sandra pusing. Kasihan sih sebenarnya. Pas aku masuk ke tempat kerjanya, niatnya sih bantuin. Tapi aku langsung diusir. Katanya Tante butuh waktu sendirian buat nyari inspirasi.”

“Oh,” Floriska manggut-manggut. Mencoba memahami bagaimana sulitnya berprofesi sebagai seniman.
Setelah orangtua Marco kedua-duanya meninggal, Marco tinggal di rumah Om Dewo. Adik dari ayah Marco.

Om Dewo adalah seorang ahli entomologi atau ahli dalam ilmu yang mempelari dunia serangga. Om Dewo jarang berada di rumah karena seringkali berada di pedalaman hutan di benua lain untuk meneliti serangga-serangga.

Sedangkan istrinya, Tante Sandra adalah seorang seniman sculpture atau seniman patung. Keduanya begitu sibuk, sehingga hal itulah yang mungkin membuat mereka tidak sempat memiliki anak. Ketika Marco kehilangan kedua orangtuanya, dengan tangan terbuka lebar, Om dan Tante-nya tersebut menerima Marco untuk tinggal di rumahnya.

“Udah makan, Ko?” tanya Floriska kemudian.

Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu diajukan sih, toh, setiap malam juga Marco makan di rumah Floriska.

“Pake nanya, ya belum lah, tahu sendiri Tante Sandra lagi mogok masak.” Dan dijawab pula oleh Marco.

“Ya udah, makan dulu baru ngerjain tugas.” Balas Floriska sambil melepas celemeknya. Kemudian berseru pada adiknya. “Bio, makan dulu!”

Marco dengan sigap duduk di salah satu kursi meja makan. Menatap kakap goreng asam manis buatan sahabatnya.

“Enak banget nih kayaknya,” celetuknya. “Flo, ntar aku yang cuci piring,”

“Oke.” Floriska menyahut.
“Sama Bio,” Marco mengerling adik Floriska yang baru saja saja bergabung di meja makan. Setiap hari Marco lah yang menyuci piring setelah makan. Namun, Floriska menyuruhnya untuk mengajak Bio sekalian, agar adiknya itu mulai belajar mengerjakan pekerjaan rumah.

“Oke.” Timpal Bio ringan. Membuat Floriska tersenyum senang. Mereka selalu kompak. Dan seringkali dia merasa, Marco sudah benar-benar menjadi bagian resmi dari keluarganya.

Sayangnya dia belum menyadari, bahwa hal semacam ini tak akan berlangsung selamanya.

-------------
-------------

Halo jumpa lagi dengan Kairos ^^
Udah Senin aja ya, cepet banget.

Selamat membaca bab keempat😁

Btw, siapa yg suka cumi asam manis?
Cocok banget tuh sama Marco^^

KAIROSOnde histórias criam vida. Descubra agora