[018] Vorfreude

1.1K 204 16
                                    

Hari ini Boram memulai kembali sekolah yang ia telantarkan selama dua hari terakhir. Langit yang agaknya mendung dan deru angin yang terus mengisi kehampaan rumah menyapa Boram ketika kedua netra itu memutuskan untuk kembali terbuka, memberanikan untuk melihat kenyataan bahwa hidup masih begini adanya.

Pagi ini Namjoon menjemput Boram, kali ini ia sudah bertekad untuk mengendarai motornya saja. Mulai saat ini, mungkin ia akan menjadi supir antar jemput Na Boram. Ia suka panggilan itu.
Pukul tujuh lewat lima, keduanya sudah berjalan dari parkiran motor menuju gedung sekolah.

Baiklah, Boram. Saatnya pasang topengmu kembali.

Sebut saja Boram bermuka dua. Setidaknya, menurut gadis itu, kelakuan muka duanya itu tak akan melukai siapapun. Siapapun kecuali dirinya. Tak akan rugi juga untuk mereka, bukan? Jika satu orang bisa rugi dan menyelamatkan banyak orang, kenapa harus memilih satu orang diuntungkan dan membuat rugi banyak orang?

Rupanya begitu cara Boram memandang dunia.

Banyak ucapan bela sungkawa yang ia terima dari teman dan gurunya. Semua merasa khawatir tentang keadaan Boram yang semakin terlihat buruk dengan tubuh kurus dan kantung mata yang besar. Namun nampaknya gadis itu benar-benar normal. Ia tersenyum seperti biasanya, seolah tak ada yang terjadi dalam kehidupannya. Karena memang tak ada lagi yang dapat ia lakukan selain meyakinkan diri bahwa semua memang baik-baik saja. Seolah ia masih berkata, “Aku tadi pagi diantar Eomma, kok.”

Ya, tentu saja. Dengan begitu ia akan merasa lebih baik karena tak harus membebani orang lain perihal dirinya sendiri. Dengan membohongi dirinya sendiri. Bukan begitu?

Sepertinya ia memang harus mendaftar di salah satu agensi untuk menjadi aktris.

“Jangan melamun, nona manis.” Suara bariton seorang pria dari arah belakang sukses membuyarkan Boram dari lamunannya. Kafetaria yang tadi hening di telinganya kini kembali ramai, diisi oleh suara anak-anak lainnya. Seberapa pintar ia bersikap normal, ia pasti akan mendapati dirinya sesekali melamun menatap ke depan dengan tatapan kosong—mencari sesuatu yang tak dapat ia gapai di sana.

“Hei, Hoseok,” sapanya lembut. “Kau sudah makan?” Hoseok mendudukkan dirinya di samping Boram dan meletakkan kantung plastik berisi entah apa itu di meja. Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Gadis itu menggeleng tanpa mengeluarkan satu suara apapun. “Tepat sekali. Aku bawakan donat kesukaanmu, jadi kau harus makan,” sambung Hoseok.

Tahu tidak, tiga makanan yang dapat kau jadikan doping untuk Boram? Burger, sushi, dan donat. Jika kau memberikan salah satu saja, Boram akan mengeluarkan senyum cerahnya seakan hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya. Dan tiga hal itulah yang menjadi kegagalan terbesarnya saat diet. Selalu.

Hoseok membuka kotak donat itu, mengeluarkan sebuah donat tiramisu dengan isi krim cokelat di dalamnya. “Omong-omong, mana Namjoon?” Hoseok menoleh ke kanan dan kiri, namun tak dapat menemukan presensi temannya itu.

“Guru Kim memanggilnya.” Boram mulai menggigit donat tiramisunya. “Apa ia kena masalah?” Hoseok membelalakkan matanya.

Boram terkekeh melihat ekspresi panik Hoseok. Entah kenapa, hanya berada di dekat Hoseok dan Namjoon saja cukup membuatnya tersenyum tulus. Tanpa mereka berdua, mungkin Boram tak akan selama ini bertahan. Matanya akan membulat sempurna, bibirnya sedikit terbuka, dan tangannya yang otomatis ditekuk dan ditaruh di dadanya. “Tidak. Paling-paling disuruh menjadi asistennya untuk mengecek tugas murid kelas satu,” jelas Boram.

Phew. Gila.

Hoseok hampir saja menyiapkan berentet kalimat panjang untuk dibicarakan di depan wajah Namjoon jika sahabatnya itu membuat onar di sekolah. Ia paling tak suka berteman dengan orang yang problematik. Mengerjakan tugas-tugas sialan itu saja sudah merepotkan, sekarang masih mau mencari perkara dengan guru? Guru Kim?! Menyusahkan saja, pikirnya.

Panacea ✓Where stories live. Discover now