[002] Cravate

3K 440 23
                                    

Sungguh, entah matahari sedang bahagia sehingga ia bersemangat untuk menunjukkan dirinya, atau ia sedang marah sehingga seisi dunia pun turut merasakan hawa dan suasana hatinya.

Panas. Sangat panas. Bekas-bekas cerita dan kenangan dari liburan kemarin masih berbekas bagi siapapun yang sekarang tengah berjalan diantara kesibukan Seoul. Kota yang hampir tak pernah mengenal kata istirahat itu.

Apalagi untuk manusia-manusia yang sekarang berjalan berlomba-lomba untuk memasuki gerbang sekolah Gyeonglim. Tidak! Jangan salah sangka! Mereka berlomba-lomba bukan karena mereka semangat untuk memutar otak demi pelajaran matematika maupun sejarah lagi.

Apalagi untuk manusia-manusia yang sekarang berjalan berlomba-lomba untuk memasuki gerbang sekolah Gyeonglim.

Tidak! Jangan salah sangka! Mereka berlomba-lomba bukan karena mereka semangat untuk memutar otak demi pelajaran matematika maupun sejarah lagi.

Mereka justru malas. Malas mendapat hukuman dari guru yang sekarang tengah menopang kedua tangannya di pinggul, dengan kacamatanya yang tergantung rendah di ujung hidung, mata yang memicing tajam kepada setiap siswa yang sibuk berlari dan menunduk, dan bibir tipisnya yang enggan terangkat keatas untuk tersenyum. Masalahnya ini sudah pukul setengah delapan kurang lima. Lima menit lagi menuju bel sekolah dan mereka tak mau terlambat untuk itu.

Salah satunya Boram. Ya ampun, gadis ini memang tahu betul cara mencari masalah. Tentu saja, alasannya terlambat adalah karena perdebatannya kemarin dengan sang ayah yang cukup menguras tenaga.

Apakah tidak ada penyambutan yang lebih baik selain Guru Kim di awal tahun sekolah?

Begitulah pemikiran Boram. Kondisinya yang lumayan berantakan. Kemeja putih, jaket sekolah krem dan coklat tua yang menutupi bekas lukanya, dipadukan dengan rok hitam kotak-kotaknya, dan—Astaga!

“Sial, mana dasiku?!” Boram merutuki keteledorannya sendiri. Bagaimana bisa ia lupa memakai dasinya tadi? Benar-benar tahun senior pertama yang sial. Masalahnya, banyak juniornya disini dan ia tak mau terlihat jelek di depan mereka. Oh, tidak. Na Boram bukannya murid yang sering melanggar tata tertib. Hal semacam ini hanya terjadi saat malamnya ia lupa waktu karena mengambil shift kerja malam sejak bulan Juni lalu. Ia akan selalu melupakan dasinya.

“Apa aku harus ke dukun untuk melepas kutuk ini?” Boram mulai mengacak rambutnya yang menggantung sampai ke bawah dada. “Aish, lagi-lagi Guru Kim.” Bahkan dari jarak lima puluh meter pun, Boram sudah bisa mengenali bahwa itu adalah guru dari Gyeonglim yang paling ditakuti seluruh sekolah. Bahkan terkadang Kepala Sekolah akan iya-iya saja dengan pendapat Guru Kim. Dan tentu saja, barisan siswa dengan atribut tidak lengkap dengan rapi berdiri dengan kedua tangan di atas.

Ya, hukuman dari Guru Kim.

“Na Boram! Tak ikut masuk?” Salah satu siswa laki-laki menepuk pundak Boram. “Aku lupa dasiku.” Boram hanya bisa tertunduk melihat seragam putihnya yang pucat karena tak ada dasinya. “Kalau begitu relakanlah. Mau tak mau, kau harus masuk.” Siswa itu mengguncang kedua pundak Boram, seakan menghantarkan semangat untuk Boram. “Semangatlah!”

“Mudah sekali kalau ngomong.” Boram mengutuk dalam napasnya, melanjutkan langkahnya yang tak lagi berlari—melainkan berjalan lesu menuju Guru Kim, seakan menyerahkan dirinya untuk dihukum hari ini.

Sembilan, sepuluh... Sepuluh langkah lesu berhasil dibuatnya, sebelum sebuah sentakan dari belakang yang memegang kuat tangan Boram membuatnya menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.

"Pakai ini."

Siswa tersebut tersenyum, tangan kirinya yang memegang erat tangan kanan Boram kini membuat jemari Boram terbuka dan tangan satunya yang bebas ia gunakan untuk memberikan Boram sesuatu yang ia genggam.

Panacea ✓Where stories live. Discover now