[013] Adyatma

1.7K 283 20
                                    

Matahari seakan ramah menyapa kota Seoul pagi itu. Sinarnya tak menyakitkan, sungguh menenangkan bagi siapapun yang sekarang memilih untuk pergi keluar dan menikmati awal musim gugur yang indah ini. Salah satunya gadis dengan kepangan ala french braid yang sedang duduk di salah satu bangku panjang di pinggir hamparan rumput belakang sekolah. Itu Boram.

Menurutnya, lapangan ini adalah pelariannya saat jam kosong tiba, atau dulu saat ia sengaja melewatkan makan siang karena diet, atau tempatnya menumpahkan kekesalannya dengan berlatih panahan. Sungguh, tak ada tempat yang lebih nyaman dari lapangan ini dengan wangi rumput dan embun yang menenagkan, semilir angin yang menyapu permukaan wajahnya, dan matahari yang bersinar hangat.

Begitu banyak hal terjadi pada kehidupannya belakangan ini. Menarik mundur waktu sebelum ia bertemu dengan pria semenakjubkan Namjoon. Ia ingat betul bagaimana Eomma dan Appa bertengkar dan akhirnya Eomma pergi meninggalkannya dan Appa. Bagaimana setiap malamnya ia menghabiskan waktu bersama udara yang menyatu dengan asap rokok dan bau alkohol. Sebagai bonus, terkadang ada beberapa bekas luka pukulan pada tubuhnya.

Semua begitu menyeramkan untuknya. Terutama saat malam itu datang. Malam yang hanya diketahui dirinya sendiri. Boram dapat merasakan matanya perlahan menutup seraya menahan air mata yang menitik keluar. Itu semua merupakan bayangan gelap dan kelam yang selalu berada di samping Boram semenjak saat itu, menjadi satu-satunya teman Boram di mana pun gadis itu berada.

Boram meremas kuat ujung kemejanya, menahan sakit dan rasa takut yang ia rasakan ketika ternyata bayangan itu masih ada di sana-menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali. Namun untuk melanjutkan ke bab cerita selanjutnya, Boram tentu sadar bahwa ia harus berhadapan dengan bayangan itu dulu sebelum dapat melihat bab baru dari cerita hidupnya.

Bab tentang Kim Namjoon.

Di mana bayangan yang memberikan warna hitam, putih, dan abu-abu dalam kehidupannya perlahan terganti oleh seseorang yang bukannya mewarnai kembali kehidupan Boram, namun dengan mengganti warna hitam, putih, dan abu-abu itu demi memunculkan warna Boram yang selama ini pudar. Namjoon tak menjadikannya seorang yang berbeda karena Boram yang lebih periang sekarang. Ia mengembalikan Boram yang dulu, jauh sebelum bayangan itu berjabat tangan dengan Boram dan berteman dengannya.

Mungkin, hanya mungkin, alasan mengapa ia bertemu dengan bayangan itu adalah agar ia dapat dipertemukan oleh Namjoon-seorang pria yang luar biasa.

Genggamannya akan seragam sekolah perlahan melonggar, terganti dengan senyum tipis yang tergores pada bibir merah muda Boram. Gadis itu mungkin memang telah jatuh untuk Kim Namjoon.

Wangi embun yang lembut perlahan pudar, terganti oleh wangi yang sangat Boram kenal. Wangi lembut dan segar yang tak dapat Boram jelaskan secara spesifik-yang ia tahu, ia menyukainya. Wangi khas Namjoon.

"Sedang apa di sini?" Namjoon mendudukkan dirinya di sebelah Boram. "Bersyukur," jelas Boram secara singkat. Namjoon tersenyum melihat gadis yang terduduk di sebelahnya ini. Ia sempat memperhatikan dahi Boram yang terkespos itu, membayangkan bagaimana kemarin malam ia mencium gadis itu tepat di sana.

Keduanya duduk terdiam dalam waktu yang lama-sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Menarik nafas perlahan, Boram mulai membuka percakapan antara keduanya.

"Joon,"

"Hm?"

"Kau tahu untuk apa aku bersyukur?" Boram menutup matanya lagi, menyenderkan punggungnya pada kursi. "Untuk apa?"

"Ada banyak sekali cerita dalam hidupku yang bahkan baru saja menginjak delapan belas tahun. Dan aku tak dapat menyebutnya sebagai cerita yang bagus. Setiap orang yang mendengarnya bahkan tak akan berpikir seperti itu. Aku bahkan tak tahu apakah aku harus bersyukur kalau hari ini aku masih hidup," jelas Boram dengan suara lembutnya.

Panacea ✓Where stories live. Discover now