PROLOGUE

7.1K 703 50
                                    

Mari kita awali kisah ini dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan sederhana yang mungkin membutuhkan pemikiran rumit bak teori filusuf untuk menjawabnya :

Apa itu hidup?

Tidak, jangan dipaksa. Jangan salahkan dirimu jika kau belum berhasil menemukan jawabannya. Biar kau yang tentukan di akhir cerita ini. Bahkan aku sendiri pun masih banyak memiliki jawaban abu-abu dan spekulasi ulung tentang hidup itu sendiri.

Namun, ada satu bagian dalam hidup yang masih terus berkutat memenuhi pikiranku untuk saat ini. Bagian yang menurutku dapat mengubah dirimu—well, tergantung kau. Apakah bagian ini mengubah dirimu menjadi lebih baik, atau makin terperosok ke dalam yang namanya hidup ini sendiri.

Pertemuan.

Jangan bohong tentang ini. Tentu kita butuh dan tak jarang menyukai hal ini, bukan? Bertemu dengan teman-temanmu, bertemu dengan keluarga, bertemu dengan orang yang kau kasihi. Well, mari kita singkirkan pertemuan dalam arti negatif—seperti bertemu dengan guru killer dengan senyum Lucifer yang selalu tergores pada bibir tipis mereka, bertemu dengan hari pertama sekolah yang membuatmu selalu bertanya kapan libur musim panas datang, atau bertemu dengan masalah.

Orang-orang bilang, mereka tidak suka dengan orang yang hanya datang dan bertemu dengan dirinya hanya pada saat mereka membutuhkan sesuatu. Mungkin kau salah satu yang setuju dengan pernyataan itu? Well, aku harus akui bahwa aku juga membencinya.

Hei, namun jangan terlalu naif. Pikirkan sekali lagi baik-baik, akan sangat aneh jika seseorang datang kepadamu secara tiba-tiba dan pada saat kau bertanya, “Ada apa datang?” dan orang itu hanya menjawab, “Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin datang.” Kau mungkin akan langsung menghindar, dan hal yang terlintas dalam pikiranmu adalah “Dasar aneh.” Sungguh, tidak satupun dari kita yang pernah mengekspektasikan percakapan secanggung itu.

Aku yakin, setiap orang akan datang dan bertemu denganmu karena suatu alasan dan kebutuhan. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang setia dan selalu berada disampingmu? Ya, sederhana saja. Berarti mereka membutuhkan dirimu di dalam kehidupan mereka. Mereka tidak hanya membutuhkan sebagian dari dirimu yang tidak mereka dapatkan dalam diri mereka. Melainkan mereka membutuhkan dirimu seutuhnya. Mereka membutuhkan dirimu setiap waktu. Itu kenapa mereka bertahan dan tidak pergi.

Sama denganku.

Sebuah pertemuan di semester lima di sekolah menengah atas. Semester pertama sebagai senior tertua di sekolah, setelah menghabiskan liburan di Busan. Sungguh, liburan yang menguras tenaga. Dan sialnya, setelah libur yang melelahkan, aku harus kembali berkutat dengan lembaran-lembaran soal yang membuatmu ingin muntah hanya dengan melihat gurumu yang memegangnya dan siap membagikannya ke setiap murid, atau diperhadapkan dengan goretan indah equation matematika yang siap dihitung jumlahnya, dan teori-teori kinetik fisika yang sama pusingnya dengan teori-teori yang sering dibicarakan kaum hawa di sekolah, entah music video apa itu yang sering mereka tonton dan yang katanya—mereka harus memikirkan teori dari video itu. Melelahkan.

Namun pertemuan itu muncul secara tak terduga. Pertemuan dengan seorang pemuda yang akan kuceritakan padamu. Sebelum ini, pemuda itu sekolah di Ilsan. Tak begitu jauh dari Seoul, memang. Jadi penampilannya tidak jauh berbeda dengan kami. Aksennya pun tak begitu mencolok. Kau tahu apa yang mencolok dari pria itu? Secara kasat mata, lesung pipinya membuatku merasa tenggelam dalam palung Mariana yang mempunyai panjang lebih dari 2.550 kilometer. Tidak, bahkan lebih dalam dari itu.

Namun bukan hanya lesungnya saja. Kalau lesung saja, bahkan Appa juga memilikinya. Yang membuat pertemuanku ini berarti adalah bagaimana ia mengubah hidupku. Bukan, bukan hal magis yang mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat total. Namun bagaimana ia terus bersamaku bagaikan ia membutuhkanku di dalam kehidupannya, itulah yang mencolok. Ia adalah orang pertama yang mengizinkanku merasakan hal itu—dibutuhkan secara tulus. Penting.

Tapi rasanya aku semakin tidak yakin setelah banyak meluangkan banyak waktu dengannya. Jadi disini, ia yang berada di sisiku karena ia membutuhkanku, atau aku yang selalu berada di sisinya karena aku membutuhkannya?

Namanya? Oh ya, bahkan aku terlalu seru mendefinisikannya hingga lupa menyebut namanya.

Namanya Kim Namjoon.

Laki-laki jenius dari Selatan. Begitulah kira-kira arti namanya.

Dan pertemuan kami lah yang membuatku merasakan hidup. Membuat tanganku mulai bergerak mengambil tinta hitam pekat dan dengan yakin menorehkan sejuta kata dalam buku hidupku yang selama ini kosong—hanya menungguku untuk siap menuliskan kisahku. Semua karenanya, Kim Namjoon.

Jika aku diberi kesempatan hanya untuk menulis cerita novel tentang hidupku, aku sudah merancangnya. Novel itu tidak akan bercerita siapa aku itu dan bagaimana aku hidup. Jauh dari itu, aku memilih untuk bercerita bagaimana Namjoon ada di dalam hidupku dan membuatku hidup.

Inilah kisahku. Cerita Seorang Na Boram. Dan ya, tentu saja dengan Kim Namjoon di dalamnya.

[]

Panacea ✓Where stories live. Discover now