[003] Lluvia

2.8K 405 25
                                    

Memang benar, segala sesuatu sudah diatur dan akan datang pada waktunya.

Dan yang menyedihkan adalah, hari ini bukanlah hari yang ditetapkan untuk Boram bertemu dengan pemuda itu. Siapa ya, namanya? Kim Namu? Kim Namjeong? Kim Namjo?

Ia lupa. Boram tak bisa mendengar namanya jelas saat perkenalan tadi. Pikirannya terlalu penuh dengan kekaguman akan pemuda itu. Ya ampun, mungkin sebentar lagi predikat pria tertampan akan jatuh kepada pemuda itu. Yang pertama kali menarik perhatian Boram adalah bagaimana cara pria itu tersenyum.

Matanya yang bulat seperti bulan purnama akan dengan cepat berganti menjadi bulan sabit, dengan eye crinkle di sampingnya, giginya tidak terlihat tadi, namun bibirnya melebar ke menyentuh pipinya, dagunya juga terangkat, memperlihatkan tahi lalat di bawah mulutnya. Lucu.

Ah, highlightnya adalah kedua lesung pipi di kanan dan kiri. Itu titik lemahnya Boram.

“Haruskah aku titip ke satpam untuk diberikan kepadanya besok?” Boram menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, mencoba berpikir. “Ah tidak, aku simpan saja. Besok datang lebih pagi, lalu berikan kepadanya.”

Ya, begitu saja. Hitung-hitung, Boram bisa melihat senyumnya lagi.

Eit, jangan salah sangka. Bukan suka. Boram bukanlah perempuan yang cepat percaya dengan laki-laki. Yang ia percaya penuh hanya Hoseok. Bahkan Appanya sudah hampir kehilangan kepercayaan dari Boram. Melihat apa yang sudah Appa lakukan kepadanya selama tiga tahun belakangan ini, Boram semakin menguatkan pemikirannya bahwa kebanyakan pria hanya akan membuatnya sakit hati dan kecewa. Dan Boram benci itu. Boram lebih memilih jatuh hati hanya sekali kepada pria yang dapat ia percaya. Laki-laki yang mencintainya tulus sebagaimana ia adanya. Laki-laki yang benar-benar laki-laki.

Soal pemuda ini, Boram hanya senang melihat caranya tersenyum. Dan Boram masih penasaran. Pemuda ini masih saja aneh. Entahlah, Boram merasa hari ini masih benar-benar aneh. Ia bukan hidup seperti dirinya yang biasa. Apa yang membuatnya seperti itu? Hah, bahkan Boram saja tak bisa menjelaskan.

Pukul tiga lewat lima belas, Boram pulang—tidak, Boram melangkahkan kaki keluar sekolah dengan roknya yang sekarang sudah berganti dengan celana bahan hitam. Setelah berkutat dengan pikirannya sendiri tentang bagaimana ia mengembalikan dasi itu, akhirnya ia mulai membawa diri ke tempatnya bekerja.

“Aku datang!” Boram berlari kecil memasuki ruang karyawan, tempat mereka menaruh barang-barang mereka. “Sore, Boram! Aku langsung titip kasir, ya. Aku harus buru-buru hari ini.” Kasir shift pagi yang telah menyelesaikan pekerjaannya kini telah memakai dress floral selutut, lengkap dengan denim jeans dan sepatu putih. “Hati-hati, sunbaenim!” Tak perlu lama bagi Boram untuk membungkuk salam dan langsung menyiapkan dirinya untuk bekerja.

Hari ini seperti biasa, ia bekerja ditemani dua rekan kerjanya lagi. Yoon Yeeun, Seorang mahasiswa semester pertama, penggila artis-artis ternama di Korea. Kau mau sebutkan siapa saja dari pemain film, drama, solois, band, bahkan boygroup maupun girlgroup, ia tahu. Ia terlalu ahli dalam bidang itu.

Satu lagi, Park Jimin. Barista dengan sejuta karisma.

Rima yang bagus, bukan?

Jimin baru saja bekerja kemarin, dan kata Yeeun, banyak anak-anak sekolah berbondong-bondong datang kesini, bukan untuk mengerjakan tugas atau mengobrol. Ketika ditanya mengapa berkunjung, mereka akan spontan menjawab tanpa malu, “Ingin bertemu si tampan, Park Jimin.” Memang sih, Boram akui, disekolahnya tidak ada laki-laki setampan Jimin. Wajar saja, kedai ini banyak dipenuhi wanita ketimbang pria.

Jelas, tidak mungkin sekali ‘kan, ada seorang pria yang tiba-tiba datang ke kedai dengan alasan “Ingin bertemu si cantik, Na Boram.” Memangnya apa yang gadis itu punya selain surai coklat kehitaman di bawah dada, mata sedang dengan lipatan di atasnya, kulit yang tidak begitu pucat, bibir tipis, dengan tinggi seratus enam puluh sembilan senti dan berat badan enam puluh kilo? Malah menurutnya ia gendut, padahal hanya kelebihan satu kilo dari berat idealnya.

Panacea ✓Where stories live. Discover now