[015] Eternidade

1.4K 227 14
                                    

Rasanya sudah kelewat bahagia saat Eomma mengatakan bahwa ia mencintai Boram. Tidak masalah siapa yang mencintai siapa lebih besar setelah keduanya mengalami hal yang pahit itu, yang terpenting adalah masih ada kasih sayang itu di hati Eomma untuk Boram. Itu saja sudah cukup untuknya.

Gadis itu tak henti-hentinya tersenyum setelah pintu kamar pasien tertutup, hingga mereka sekarang tiba di parkiran-tempat Namjoon memarkir motornya. Mungkin rasanya, jika Namjoon hari ini menggodanya pun akan kalah dengan kalimat yang tadi Eomma ucapkan.

"Boram? Kau senang hari ini?" Namjoon berhenti sejenak di depan motornya untuk melihat Boram-tentu saja dengan senyumnya.

"Sangat," jawab Boram singkat.

"Joon, mau pergi dulu setelah ini?" Cetus Boram sebelum ia naik ke motor Namjoon. "Tentu. Aku tahu tempat yang bagus," ujar Namjoon seraya mengambilkan helm untuk Boram.

Keduanya melesat pergi dari rumah sakit menuju tempat yang sudah direncanakan Namjoon. Boram tak perlu bertanya tempat manakah itu, ia percaya Namjoon adalah orang yang sering berkeliling Seoul, jadi kemanapun, asal itu bersama Namjoon, rasanya ia tak apa-apa. Ya, kalimat picisan yang memang begitu adanya.

Motor Namjoon seakan membelah jalanan kota Seoul hingga jembatan Yanghwa yang dipenuhi kerlip lampu indah. Angin terus berhembus lembut, menyapa setiap orang yang melakukan aktivitasnya sendiri.

Perjalanan dari jembatan Yanghwa itu berhenti di Seoyundo. Namjoon memarkirkan motonya di sebuah lapangan parkir besar sebelum keduanya masuk ke Taman Seoyundo. Tempat favorit Namjoon.

"Selain studio, aku sering ke sini hanya untuk mencari inspirasi untuk menulis lirik. Jika kau duduk di sini dan hanya memandang sekeliling, kau akan merasa kalau banyak sekali hal indah yang ada di sekelilingmu. Itulah cara Sang Pencipta mengasihimu." Namjoon berkata dengan volume kecil, namun cukup hangat menyapa telinga Boram. Suaranya yang beradu dengan angin itu menjadi hal yang manis didengar malam ini.

Keduanya berjalan di tengah jalan setapak selama beberapa waktu, tanpa ada suara dari mulut mereka. Boram sendiri tak tahu apa yang akan ia lakukan sekarang. Ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan pemuda ini. Ia hanya terlalu bahagia tadi sehingga rasanya tak ingin dulu pulang ke rumah.

Mereka menaiki undangan tangga dari kayu dan duduk di undakan paling atas. Ini bagian teratas dari Taman Seoyundo. Mereka memandang lurus ke pohon-pohon yang menari dengan tiupan angin, memenuhi pemandangan.

"Kau tahu kenapa aku mengajakmu pergi dulu sebelum pulang?" Boram mendudukkan dirinya di samping Namjoon.

"Tidak," jawab pemuda itu singkat.

"Aku juga tak tahu." Boram mengendikkan bahu, sedikit terkekeh atas kelakuan anehnya.

"Kau harus mengakui kalau kau merindukanku, Boram." Namjoon tertawa kecil melihat tingkah lucu Boram. Apalagi saat melihat senyum Boram yang mengembang indah setelah candaan yang ia lempar, pemuda itu tak pernah merasa lebih beruntung bisa mengenal Na Boram.

"Kurasa aku terlalu bahagia hingga rasanya aku tak ingin pulang ke rumah dulu," ucap Boram terus terang. Namjoon tak membalas apapun. Alih-alih menanggapi gadis itu, Namjoon menoleh, menaruh seratus persen atensinya kepada Boram. Ia seakan siap menjadi telinga yang baik untuk gadis itu.

"Rasanya sudah lama Eomma secara terang-terangan mengatakan bahwa ia mencintaiku hingga aku sering berpikir bahwa aku tak pantas untuk dicintai," lanjut gadis itu. Apa yang keluar dari mulutnya memang pahit, namun bibirnya terus menerus melukiskan senyum yang tulus. Itu bukan senyum yang palsu.

"Aku memang bodoh karena sejujurnya, aku masih tak bisa mendefinisikan apa itu arti cinta secara jelas. Dengan naif bahkan aku berpikir bahwa cinta tak perlu dijelaskan, cukup dirasakan." Boram terus berbicara sembari kepalanya menoleh ke arah kirinya untuk melihat wajah Namjoon di tengah gelapnya malam Seoyundo.

Panacea ✓Where stories live. Discover now