~FIRMAN [Empat]

116 8 0
                                    

BAGIAN IV
Sempat Memilikimu

Aku selalu yakin jika suatu saat aku akan berada di tempatmu, tepat di sisimu. Harus ku akui hari-hari ku begitu berat semenjak kepergian mu. Hari-hari ku tampak begitu gelap bahkan rembulan, bintang dan seisi langit pun tak ada artinya tanpamu. Ingin ku katakan jika aku merindukan sentuhan mu, suara dan tawamu namun selalu ku sadari bahwa kata-kata takkan pernah bisa menjelaskan rasa rinduku padamu. Aku selalu ingat kau pernah berkata dan melarang ku menangis saat kelak kau pergi. Jujur aku tak bisa, perasaan ini terlalu kuat dan telah menguasai diriku. Bolehkah aku bertemu denganmu sekali lagi? Aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja. Bisakah kau mendengarkan suara rinduku ini? Aku merindukanmu begitu sangat merindukanmu.

Malam ini pukul 23:34 aku tak dapat memejamkan mata. Disaat Nana sudah tertidur lelap aku menuju ke ruang tengah dan ku nyalakan TV. Malam ini aku menonton sendiri biasanya kamu ada di sebelahku sambil tanganmu memeluk tubuhku yang menempel di tubuhmu.

Sambil menatap layar TV aku sedikit bernostalgia mengingat beberapa hal yang pernah kita lalui. Aku teringat disaat hujan membasahi seluruh jalanan di sudut kota, hampir satu jam lamanya. Saat itu aku berharap hujan akan turun lagi supaya kita tetap bisa bersama lebih lama di tempat berteduh tepatnya di depan kios berwarna merah yang berada samping halte. Tak berselang lama langit kembali menerangi seluruh kota. Kala itu kamu menatap ku seakan memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Setiap kali aku mengajakmu keluar dengan motor milikku yang dulu kamu tak pernah menolak bahkan tak pernah merasa malu seakan itu pertanda kamu menerimaku apa adanya padahal waktu itu kita belum menjalin hubungan sebagai pacar, kita hanya teman yang punya rasa cinta yang sama. Entah mengapa aku begitu takut mengungkapkan perasaanku padamu waktu itu. Aku takut jika aku harus kehilangan sahabat jika saja kamu menolak ku namun ternyata aku salah aku bahkan tak pernah menyangka bisa memiliki sahabatku menjadi seorang pendamping hidupku.

Disaat perjalanan menuju tempat tinggal mu di atas motor kamu berkata padaku.

"Kamu suka gak sama perempuan?"

"Yaa suka lahh..." Jawabku teriak.

"Kalau suka kenapa kamu tidak punya pacar?" Balas Hanifa dengan teriak.

"Karena sudah ada kamu!" Jawabku tertawa.

"Memangnya aku pacarmu!?" Teriak Hanifa.

"Kamu adalah calon Ibu dari anak-anakku! Hahaha..." Teriakku tertawa.

"Ihh apaan sih... Aku kan jadi maluu"

Entah saat itu Hanifa menanggapinya bercanda atau tidak tapi kenyataannya dia memang adalah ibu dari anakku. Mungkin disaat itu malaikat ikut tertawa mendengar kami dan mungkin saja mengaminkan beberapa kata-kata kami.

Di tengah perjalanan saat itu aku sangat mengingat kala mendung mulai menghampiri kemudian hujan pun kembali menetes. Hujan disaat itu seolah memberi isyarat bahwa kita harus berteduh dan melanjutkan pembicaraan di suatu tempat. Maka ku arahkan motorku untuk menepi di sebuah bangunan baru yang belum berpenghuni dengan pekarangan yang cukup luas dan baru aku menyadari jika bangunan itu adalah mini market tempatku membeli bekalnya Nana tadi pagi.

Di tempat itu hanya ada kita berdua,

"Firman kamu memang gak pernah pacaran yah?" Hanifa membuka pembicaraan.

"Pernah sih tapi seperti bukan pacaran karena dulu aku punya pacar waktu sekolah, ketemu dan pacaran cuma kalau di sekolah, setelah itu gak pernah ketemu" Jawabku serius.

"Kirain gak pernah pacaran" Kata Hanifa tersenyum.

"Memang kenapa? Memang kamu mau sama aku?" Kataku sambil menatapnya.

"Mau sih kalau kamu mau" Dengan suara yang sangat kecil seolah takut dan malu bertatapan denganku.

Hujan itu menjadi saksi dikala kamu menutup mata tersenyum seakan mengatakan iya atas segala yang menjadi pertanyaan diantara kita. Aku tak mengerti dan tak pernah menduga akan meletakkan bibirku tepat di atas bibirmu yang tersenyum. Sekejap aku melihatmu membuka mata seolah heran namun pasrah kemudian kembali kau menutup mata menghela nafas penuh kebahagiaan. Setelah kejadian itu kamu tampak malu selalu tertunduk sambil memainkan ujung bajumu yang basah.

Hujan semakin deras diwaktu itu yang memaksa kita harus lebih dekat satu sama lain agar tak terkena percikan hujan. Kala itu kamu bertanya padaku,

"Pasti kamu sudah pernah berciuman dengan wanita lain sebelum aku yah?"

"Belum pernah, ini pertama kalinya bagiku, apakah kamu sudah pernah?" Kembali ku bertanya padanya.

Hanifa kala itu tersenyum dan sangat terlihat cantik di mata ku.

"Kalau begitu jadikan aku yang pertama dan kamu juga akan kujadikan yang pertama di hidupku"

"Maksudnya?" Tanyaku yang bingung bercampur malu waktu itu.

"Berjanjilah akan selalu menjadi sahabatku cintaku" Hanifa menatapku tersenyum seakan mengisyaratkan sesuatu.

"Aku ingin kamu bukan hanya menjadi sahabatku tapi aku ingin kelak kamu menjadi pendamping hidupku"

Saat aku mengingat kembali sumpah aku merasa konyol pernah mengucapkan kata seperti itu. Pada waktu itu seketika Hanifa kembali memejamkan mata mendekat. Jantungku begitu berdebar, ketika aku mendekat dan berharap mengulang yang telah terjadi tiba-tiba Hanifa menahan bibirku dengan jarinya sambil berbisik pelan,

"Simpan bibirmu itu untukku kelak di hari dimana kita bisa berbaring dan berbagi bersama dalam satu ikatan suci"

Hanifa selalu membuatku terpesona dengan kecantikan dan tutur bahasanya. Pada saat umur 20an saja Hanifa sudah pandai merangkai kata, sewaktu telah menjadi Istri jangan ditanya lagi tiap hari aku terpesona karenanya. Setelah kejadian itu aku menyimpan semua yang kumiliki hanya untuk Hanifa meskipun terkadang kami tidak menyadari melanggar janji namun melanggar kepada orang yang sama. Dulu kami menyebut itu adalah dosa terindah, masa muda kami indah bahkan masa pernikahan kami pun begitu indah dan bahagia sampai kami lupa dengan takdir yang telah terlebih dahulu dituliskan oleh sang pencipta yang tak bisa kami rubah meskipun memohon dan terus memohon.

Hujan memang selalu membawa kenangan. Malam ini juga hujan turun dengan lembut seolah berbisik mengajakku untuk melangkahkan kaki menuju ke kamar. Maka ku ikuti langkahku menuju pembaringan dan ku coba memejamkan mata untuk mengakhiri hari demi menyambut esok yang ceria.

Ada banyak hal tentang Hanifa yang tak dapat terlupakan dalam pikiranku ini. Setidaknya aku bersyukur karena telah sempat memiliki orang yang tepat di separuh hidupku.

1 Kisah 4 Cinta 2 Dunia [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang