Bag. 22 - Halal itu Indah

4.2K 87 0
                                    

JANGAN PELIT VOTE DAN KOMENTAR YA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JANGAN PELIT VOTE DAN KOMENTAR YA....

SELAMAT MEMBACA.

Malam itu, Rustam menyampaikan maksud anaknya, Fadil yang hendak meminang Resti. Tentu saja disambut suka cita oleh Ardi, Dinda, apalagi Resti. Disepakati minggu depan mereka akan melangsungkan pernikahan. Meski tidak di gedung, tapi akad nikah dan resepsi akan dilakukan di rumah Ardi dan mengundang tetangga dan kerabat dekat Ardi.

Dalam suasana bahagia, Resti masih berusaha menenangkan hatinyai atas keputusan Fadil untuk menikahinya. Bukan karena ia tidak senang, tetapi masih saja ada perasaan bersalah atas perceraian Fadil dan Adara. Ia tak dapat membohongi dirinya, karena setelah ia menemui Adara, kecelakaan Fadil dan berakhirnya biduk rumah tangga Fadil dengan Adara terjadi. Dan malam itu, dalam suasana bahagia, Resti menguatkan diri melawan gundahnya sendiri.

***

Pagi sebelum berangkat ke Palembang, Fadil mengajak Ardi berbicara empat mata, "Di, maaf sebelumnya kalau aku mengingatkanmu pada masa lalu. Tapi ini sangat penting bagi kelangsungan hidupku dan Resti. Tentang wali nikah Resti nanti, apakah kau sudah menghubungi Bapak?" Ardi terkejut. Pertanyaan Fadil tentu saja membuka luka lama yang begitu sulit ia pendam.

Ardi menghela nafas, "sebenarnya, beberapa kali bapak menghubungiku. Ia meminta maaf dan ingin menebus semua dosanya. Tapi aku..., aku tak sanggup Dil."

"Aku sangat mengerti perasaanmu Di. Tapi pernikahan kami tak sah jika bukan Bapakmu yang menjadi wali Resti. Kau tidak bisa menjadi wali meskipun kau kakak kandung Resti, ketika hak wali Bapak tidak gugur dikarenakan alasan-alasan syar'i."

"Tapi Bapak tidak menjalankan kewajibannya sebagai Bapak selama ini, Dil! Apa itu tak cukup sebagai alasan bahwa ia tak punya hak menjadi wali Resti?" Suara Ardi meninggi. Mukanya memerah, memendam api amarah pada Bapaknya.

"Di, aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi syari'at tak bisa diabaikan. Dalam Islam, ada enam syarat menjadi wali : Laki-laki, baligh, berakal sehat, merdeka, dan Adil (bukan fasiq). Selama Bapak memiliki keenam hal ini, tetap Bapak yang harus jadi wali. Urutan pertama adalah ayah kandung, kakek dari ayah kandung, baru boleh kamu sebagai kakaknya Di." Fadil berusaha menjelaskan dengan hati-hati. Ardi tertunduk lemah, hatinya masih tak merelakan semua itu, tetapi sebagai muslim ia wajib mengikuti syari'at yang seharusnya. Ardi menghela nafas, "akan kusampaikan pada Bapak. Tapi kau sendiri yang menjelaskan pada Resti. Aku tak mau membuatnya sedih dengan hal ini." Fadil merasa lega. Semoga pernikahannya berjalan lancar. Sungguh ia ingin menjadikan kehidupan lebih bermakna dengan hubungan ini.

Resti menitikkan air mata haru, antara bahagia, amarah dan kesedihan bercampur jadi satu. Ia sangat terkejut saat tiba-tiba Bapak yang selama ini menghilang dari kehidupan mereka, Bapak yang meninggalkan ibu ketika ibu mengidap sakit parah, bapak yang benar-benar telah dianggapnya mati, dan kini hadir menjadi wali pernikahannya. Sama seperti yang dirasakan Ardi, kakanya, ia tak dapat menerima semua kenyataan ini. Dhia menggenggam kedua tangan Resti, "Mbak mengerti yang kau rasakan Resti, tapi ini permintaan Fadil. Ia ingin ikatan kalian benar-benar sah dimata Alloh." Perasaan Resti menjadi sedikit lega mendengar nama Fadil.

Cinta Adara (COMPLETED & FREE di KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang