3.7 [END]

495 39 82
                                    

Tak perlu banyak ucapan, semuanya hanya butuh tindakan untuk memperjelas keadaan.

-I N V O L U T E-


Setelah menghabiskan waktu seharian tanpa tujuan, Ruby dan Reynand harus kembali ditampar oleh kenyataan, bahwa kini mereka harus berpisah dalam kurun waktu yang cukup lama. Iya, hari itu akhirnya tiba. Mau tidak mau, siap tidak siap, Reynand harus berangkat ke Amerika.

"Lea, jaga diri baik-baik, ya? Gue nggak bisa jagain lo lagi mulai sekarang." Reynand berkata begitu ketika mengantar Ruby pulang.

Ruby tertegun. "Lo juga."

"Rey, gue punya sesuatu buat lo. Tunggu dulu!" setelah berkata begitu, Ruby bergegas masuk untuk mengambil sesuatu.

Kemudian Ruby kembali dengan sebuah kotak besar. Dia menyodorkannya pada Reynand. "Gue nggak tau harus ngasih apa biar lo selalu inget sama gue. Jadi, gue mutusin buat ngasih itu."

Reynand tentu saja tersenyum senang. Dia membuka kotak itu, terdapat sebuah lukisan dirinya yang dilukis langsung oleh Ruby. Dan juga, sebuah buku sketsa yang berisi sketsa kasar yang Ruby buat setiap jenuh. Dan semua gambar itu berhubungan dengan Reynand, juga hatinya yang berantakan.

"Thankyou Lea. Lukisan ini, bakalan gue pajang di kamar gue, biar gue selalu inget sama lo."

Ruby tersenyum sendu.

"Nih," katanya sembari memberikan Ruby sebuah gantungan kunci berbentuk gitar. "Gue tau itu nggak seberapa, tapi gue harap benda kecil itu bisa bikin lo selalu inget sama gue."

Ruby menerimanya dengan mengulas senyum tipis. "Thankyou, Rey."

Reynand tersenyum, dia mengusap surai Ruby seraya menatapnya begitu dalam. "Lea, I want to kiss you," ujarnya dengan suara rendah.

Ruby membulatkan mata. Dan sebelum Ruby memberi izin, Reynand sudah lebih dulu mengecup kening Ruby. Hanya sekejap, namun sudah cukup membuat jantung keduanya berdebar hebat.

"Gue bakalan kangen banget sama lo," ungkap Reynand.

"Gue ... juga." Ruby yang dipenuhi gengsi tentu saja tidak akan banyak bicara.

"Nggak mau peluk?" tawar Reynand sembari merentangkan kedua tangannya. "Kalo di bandara besok, gue yakin lo nggak bakal mau."

Ruby sempat menatap Reynand ragu, kemudian memeluk tubuh pemuda itu sebagai bentuk salam perpisahan.

"Cepet pulang, Rey."

Karena gue nggak yakin kalo hati gue bisa bertahan nunggu lo selama itu tanpa kepastian apa-apa, Ruby membatin.

🍁

Kegelapan malam mulai memayungi kota, namun Ruby masih terjaga dengan secangkir kopi yang menemani. Matanya fokus pada kanvas yang menampilkan lukisan setengah jadi.

Jendela kamarnya dibiarkan terbuka, membuat sinar rembulan menerpa wajahnya. Matanya sudah perih dan berair, namun gadis itu terlalu keras kepala untuk berhenti.

"Wow, sejak kapan seorang Mansy Azalea Ruby jadi suka kopi?" celetukan itu berhasil mengusir rasa kantuk Ruby.

Gadis berkuncir kuda itu berdecak, tanpa mengalihkan pandangannya dari kanvas, ia berkata, "nggak usah banyak bacot, pamerannya diadain tiga hari lagi nih. TIGA HARI LAGI YA ANYING!"

"Weits, santai, Bu. Jangan ngegas begitu." Pemuda jangkung itu terkekeh. Ia melemparkan totebag berisi cat yang Ruby minta.

Ruby tersenyum cerah. "Thankyou, Lucky!!" Gadis itu membawa totebag tersebut ke dalam dekapannya. Menganggapnya harta paling berharga di dunia.

INVOLUTE (New Version)Where stories live. Discover now