17. Kemalangan Fiona

Start from the beginning
                                    

"Makasih, Bi." Fiona tersenyum hangat. Dia mulai menuangkan banyak sambal ke dalam baksonya. Namun matanya sekilas melirik Alden yang tampak hanya mengaduk-aduk baksonya. "Kak Alden mau sambal? Nih aku tuangin."

"Nona Fiona." Bi Marni lebih dulu menahan mangkuk sambal yang dijulurkan oleh Fiona. "Tuan Alden tidak boleh makan sambal."

Selama beberapa saat Fiona terdiam. Dia baru ingat Alden, kan, pria pecinta hidup sehat. "Ah, iya."

Pada akhirnya Fiona membiarkan. Walau dia penasaran, apa enak bakso tanpa sambal dan mie?

Alden mulai menyendokkan bakso dan menggigitnya sedikit. Dia nyaris memuntahkannya saat perutnya mulai mual. Namun demi Fiona, Alden menahannya dan menelannya.

Tindakan Alden tidak luput dari mata Kris. Pria itu hanya bisa menggelengkan kepala.

***


"Lucunyaaa!" Fiona mencium gemas anak kucing Alden yang Kris bilang belum lama diadopsi.

Kucing berwarna abu-abu dan gemuk itu sedari tadi menarik perhatian Fiona sehingga dia tidak langsung pulang dan memilih sedikit bermain-main. Saat ini mereka ada di ruang tengah. Alden tadi izin ke kamar mandi.

Mereka hanya tidak tahu saja, saat ini Alden sedang mengumpat karena terus muntah usai makan bakso.

"Walau nama kamu itu Bunis enggak ada cakep-cakepnya ketimbang Nio Serge, tapi aku lebih suka kamu." Fiona bicara pada kucing seperti orang bodoh.

Ica mengernyit tidak paham. "Nio Serge itu siapa, Na?"

"Anjingnya Kak Alden."

Ica terlihat antusias. "Serius? Mana? Gue pengin lihat."

Fiona memberi tatapan tajam pada Ica.

"Oh, iya. Gue lupa lo takut anjing, Na."

Alden mendatangi Fiona di ruang tengah bersama Kris. Dia baru saja menuntaskan muntahnya yang untuk pertama kali justru ditertawakan oleh Kris. Karena itulah tubuhnya terasa lemas. Jadi, dia duduk bersandar di sofa.

"Kak, kenapa nama dia Bunis, emang Bunis itu apa?" Fiona bertanya pada Alden.

Alden menjawab datar tanpa minat, "Buluk manis."

BHAHAHA!

Fiona dan Ica tidak dapat menahan tawanya. Entah karena kepanjangan nama Bunis atau cara Alden yang mengatakannya dengan wajah lempeng itu.

"Kasian banget, Bunis." Fiona mengusap sudut matanya yang berair. "Walau buluk tapi dia cewek, Kak. Kasih nama marga juga dong."

Mendengar Fiona tertawa renyah seperti itu, perut Alden kini bukan lagi mual. Ada kupu-kupu beterbangan di sana. "Bunis Serge."

"By the way, kenapa Kakak adopsi kucing?" tanya Fiona penasaran.

"Karena saya suka kucing." Alden balik bertanya, "Kamu suka?"

Fiona menghela napas. "Suka, tapi enggak pernah dibolehin pelihara kucing sama Mama Papa."

Alden diam sejenak. Fiona menyukai kucing, tetapi tidak pernah punya kesempatan untuk memeliharanya. Mungkin ..., "Kamu boleh ke sini kalau mau main kucing."

Mata Fiona membulat antusias. "Beneran?"

Alden mengangguk.

"Yes!" Fiona menciumi Bunis lagi.

Diam-diam Alden tersenyum kecil. Kalau seperti itu, Fiona akan sering datang. Alden akan sering bertemu dengannya. Setidaknya kehadiran Fiona, menjadi satu hal yang bisa mengusir rasa kesepiannya.

***

Langit sudah gelap. Fiona baru saja mengantar Ica pulang, sekarang dia sendiri sedang dalam perjalanan ke rumah dengan mobilnya. Namun tidak seperti biasanya, jalan yang biasa dia lewati cukup sepi.

Awalnya Fiona tidak berpikir aneh-aneh seperti ada pocong yang tiba-tiba melintas. Namun tanpa disadari dia nyaris saja menabrak orang. Fiona membuka pintu mobilnya, memastikan perempuan yang terduduk di aspal tidak cedera parah.

"Kamu enggak apa-apa?"

Perempuan yang terduduk itu perlahan menoleh. Membuat Fiona terlonjak kaget.

"Risa? Lo ngapain di sini?" Malam-malam begini untuk apa Risa ada di jalan sepi seperti ini.

Risa terkekeh geli. Dia bangkit dan berdiri di hadapan Fiona. "Lo, kan, nabrak gue."

Sesaat Fiona linglung. Perasaannya berubah tidak nyaman. Dan benar saja, ada beberapa preman laki-laki dan perempuan yang muncul dari balik pohon.

"Sa, mending kita pergi sekarang. Ada banyak preman, Sa!" Fiona mundur sembari berniat mengajak Risa kabur bersama. Namun Risa justru biasa saja. Tidak ada raut ketakutan di wajahnya.

Sebenarnya ini apa?

"Kenapa? Lo takut?" Risa tersenyum mengejek. Dia mendekati Fiona. "Coba aja kabur kalo lo bisa."

Tangan Fiona yang dingin terkepal erat. Dia menatap tajam Risa. Dalam sekejap dia mengerti situasinya sekarang. "Apa mau lo?"

"Gue masih enggak terima didiskualifikasi tanpa alasan yang jelas. Semua karena lo. Lo itu terlalu dianakemaskan sama semua orang."

Gigi Fiona bergemelatuk, tetapi dia tetap diam dan memilih mendengarkan.

Risa kembali bicara, "Padahal suara lo enggak bagus-bagus amat. Kadang masih suka dapet juara dua, kan?"

"Setidaknya suara gue jauh lebih bagus dari lo." Fiona tidak ragu untuk membalas dengan nada dingin.

"Oh, ya?" Risa menatap Fiona lama, sebelum akhirnya menarik lengan atas seragam Fiona hingga robek.

"Apa-apaan lo!"

Risa mencengkram rahang Fiona kuat. Membuat Fiona mau tidak mau terdiam. "Atau jangan-jangan lo punya sugar daddy yang bisa lo manfaatin buat ngendaliin semua semau lo? Atau lo jual diri sama Aldenio? Dia, kan, kaya raya. Jangankan nyumpal mulut Pak Raju, nembak kepala mentri aja dia mampu."

Fiona mendesis. "Tutup mulut busuk lo Risa. Gue bukan jalang kayak lo."

Risa menghempaskan Fiona kasar hingga terjatuh. Dia menggerakan dagunya, memberi perintah pada preman-preman itu.

Selain lututnya yang tergores aspal jalanan, yang Fiona rasakan selanjutnya adalah punggungnya dihantam menggunakan sesuatu yang keras.

"Kita lihat apa yang bisa lo lakuin setelah ini." Risa menyeringai keji.

Fiona menjerit kesakitan sewaktu para preman yang mengambil alih menghajarnya dengan balok kayu tanpa ampun. Namun tidak ada yang menolongnya. Sampai akhirnya dia mendengar suara sirine. Risa dan preman-preman itu langsung kabur.

"Fiona, kamu enggak apa-apa?"

Fiona mendongakkan kepala. Kris ada di depannya, menatapnya khawatir. Bibir Fiona bergetar, matanya berkaca-kaca seolah menahan tangis. Namun tidak ada yang keluar dari mulutnya selain kalimat 'mau pulang'.

Kris mencoba menggendong Fiona, tetapi perempuan itu merintih kesakitan karena punggungnya tadi menjadi sasaran balok kayu. Kris menurunkannya kembali, mencoba memapahnya.

"Saya antar kamu ke rumah sakit, kamu perlu diobati. Setelah itu saya antar kamu pulang. Mobil kamu biar sopir yang bawa."

Fiona hanya mengangguk. Dia percaya pada Kris.

***

Mau bilang apa sama Risa?

Vote kalau suka, share kalau kalian berkenan





Imperfect CoachWhere stories live. Discover now