CHAPTER 17. CAN WE BE FRIENDS?

1.4K 125 139
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Walau kata selamanya tak dijanjikan padaku, tetapi secepat itukah perasaan bisa berlalu? Aku tak mengerti. Begitu cepatkah seseorang mampu berubah hati?

-Clarabelle

Aku menatap lama deretan buku-buku pada rak di hadapanku, tetapi tak satu pun buku yang kuambil. Entahlah, aku ingin hanya ingin membaca sesuatu, apa pun, yang bisa membuatku berhenti memikirkan si Alvern Mesum itu walau hanya sesaat.

Setelah pertemuan kemarin dengannya, aku tak berkata apa-apa pada Ruby, Xienna, dan Terra. Aku hanya diam, meskipun Ruby dan Xienna menanyaiku berulang-ulang.

Bahkan ketika tiba di rumah kemarin sore, aku langsung masuk ke kamar tanpa menyapa mama. Aku pun mengabaikan ajakan makan malam darinya, malah memilih bersembunyi di kamar seraya memegang erat selimut dan mengeluarkan semua kesedihanku.

Hingga suara mama yang menjerit memanggil namaku, saat aku tak sadar membuat ranjangku dan isi kamarku melayang di udara, menyadarkanku. Aku ingat, aku memandang sepasang mata biru di cermin yang kubuat melayang di hadapanku.

Aku menjerit seketika itu seraya mengibas ke arah kaca itu hingga membentur dinding dan pecah terjatuh. Aku memejamkan netra. Seketika semua benda berjatuhan. Termasuk ranjangku yang terhempas ke lantai.

Masih kuingat, mama memeluk diriku yang berkali-kali bertanya 'Makhluk apakah aku, Mama?' padanya sambil menangis. Wanita itu tak mampu menjawab, selain hanya terus mendekapku erat.

Aku menghela napas mengingat kejadian itu. Mama benar. Aku harus belajar lebih keras untuk mengendalikan kekuatanku.

"Dari wajahmu aku bisa menyimpulkan ... ada sesuatu yang sedang kau pikirkan."

Tersadar dari lamunan, aku menoleh sedikit mendongak. Lelaki itu? Dia yang memandangiku tanpa kedip saat di pesta, bukan?

"Kau? Mau apa kau kemari?" tanyaku heran.

Tatapan kami bersirobok.

"Apa seorang escolastico tidak boleh datang ke Nubia?" Lelaki itu malah bertanya balik dengan gaya malasnya yang khas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak buku dan para alvern campuran yang tengah asyik mencari dan membaca buku.

"Kau juga seorang pengajar? Kenapa aku tidak pernah melihatmu? Apakah kau escolastico baru?" tanyaku lagi ingin tahu.

Alvern berambut putih kehitaman sebatas bahu itu menyipitkan netra aswadnya yang cekung. Alis rendah tebal memanjang tampak menaungi di bagian atas mata. "Sejak kapan alvern hitam harus melapor padamu?"

Aku melongo sebelum menepak kepalaku. "Oh, iya. Le siente. Aku lupa, mengira kau escolastico untuk alvern putih campuran."

Alvern hitam itu memutar bola mata dan mendengkus ke arahku. Aku cengar-cengir menutupi rasa malu.

"Memangnya kau tidak bisa melihat sayapku?"

Aku menggeleng pelan, lalu mengerutkan kening. "Memangnya bisa terlihat tanpa kau mengeluarkan sayap?" tanyaku balik.

Dia memandangku heran sekarang. "Setiap alvern dan keturunannya bisa melihat dan mengenali cahaya sayap sesamanya; hitam atau putih," jawabnya. Ia kemudian mencondongkan wajahnya ke arahku. "Bagaimana mungkin kau tidak bisa melihatnya?"

Dipandangi dalam jarak dekat olehnya membuatku gelagapan. "Eh, i-itu ... mak-maksudku ... aku ti-tidak bisa melihat sayapmu mu-mungkin karena sayapku belum muncul."

THE BLUE ALVERNS-Book 2 (completed)SUDAH DITERBITKANWhere stories live. Discover now