TIGA PULUH ENAM

20.1K 4.3K 625
                                    

"Jumat malam, ibu akan merayakan ulangtahunku, Tis. Makan malam sederhana, kamu bintang tamunya."

Kami sedang makan siang bersama di ruangan Kukuh, setelah beberapa hari tidak bertemu karena jadwal bapak CEO yang super sibuk. Bahkan saat ini pun, Kukuh makan sambil bekerja.

Kami memesan makanan dari layanan delivery. Dan membuat Danish kesal karena harus makan sendiri.

Tapi informasi dari Kukuh barusan, membuat jantungku berdetak cepat.

"Jangan panik. Aku enggak akan buat kamu tak kasat mata. Percaya sama aku." Kukuh meremas tangan kiriku yang berada di atas meja.

"Ada keluarga Rania juga?"

Kukuh yang sedang meneguk minumannya tampak terkejut dengan pertanyaanku.

"Rania? Enggak. Cuma keluarga intiku saja. Bapak, Ibu, kedua kakakku dan keluarga kecil mereka."

Aku bernapas lega.

"Ada apa? Rania mengintimidasi kamu atau bagaimana?"

Aku menggeleng cepat. "Enggak apa - apa. Canggung aja, kalau perempuan yang dijodohkan sama kamu datang di sana sementara aku juga ada."

Kukuh mengangguk, "Bapak udah nyerah tampaknya, lagipula, gantinya kamu kok. Siapa yang nolak punya menantu cantik begini."

Aku mencibir ke arahnya.

"Ngomong - ngomong, Gemilang mau putusin kontrak dengan Turangga Herba." Informasi dari Kukuh membuatku terkejut.

"Maksudnya gimana?"

"Ya sudahi kerjasama. Produk Turangga Herba ditarik dari kedai kopinya. Dia berjalan sendiri, seperti dulu. Katanya, dia enggak mau berlindung di bawah payung Turangga Herba. Dia mau hadapi semua sendiri."

"Lho? Kamu bilang mau bantu dia, Kuh?"

Kukuh kembali menatap layar laptopnya.

"Aku mau bantu. Kalau dia yang gak mau dibantu, gimana? Masa aku paksa." Jawabnya.

Aku memikirkan Gemilang. Apakah dia bisa bertahan melewati semuanya?

Aku harus tanya Tiara nanti.

"Apa dia marah karena aku pacarin kamu?" Kukuh bergumam sendiri. "Masa sih dia selemah itu."

Aku menyentil lengannya yang terekspos karena lengan baju yang dia gulung sampai siku.

Dia mengusap - usap lengannya tempat di mana aku menyentilnya tadi.

"Kamu kalau galak - galak, aku ikat lho." Omelnya. "Coba sini bantuan kerja. Rumus makro-nya dirusak sama Danish. Nenek sihir itu ya kalau mood-nya jelek, apa aja dirusak."

Kukuh menggerutu.

"Aku enggak ngerti excel makro. Kuh, aku mau nanya deh."

"Tanya aja, Yang."

Dia masih fokus menatap layar laptopnya.

"Kamu kan deket banget sama Danish, enggak pernah naksir dia?"

Kukuh mengetik dengan cepat kemudian tatapannya beralih ke wajahku.

"Kamu cemburu sama Danish?" Dia bertanya, tapi wajahnya serius.

Tidak usil seperti biasa. Sepertinya, aku salah nanya. Kukuh terlihat tidak suka ditanya begitu.

Apakah aku cemburu?

Entahlah. Melihat betapa seringnya mereka bersama. Bagaimana mereka berinteraksi asyik dan menyenangkan. Aku takut, salah satu dari mereka punya pemikiran lain dari sekedar hubungan antara bos dan sekretaris.

Apakah aku terdengar seperti perempuan posesif?

Aku menggeleng dan meminta maaf, karena merasa konyol dengan pertanyaan itu. Berdiri, aku pamit untuk kembali ke ruanganku.

Tapi Kukuh menuntut penjelasan atas pertanyaan isengku tadi.

Menggeser laptopnya, Kukuh membawa kedua tanganku di atas meja. Menggenggamnya.

"Bagaimana aku jelasinnya? Aku melihat Danish, seperti aku melihat Tiara. Peduli, iya. Sayang, iya. Tapi hasrat untuk memiliki atau menjadikannya pasangan,"Kukuh menggeleng. "Enggak."

Danish secantik itu, Kukuh tidak tertarik?

"Iska, Danish, Tiara memiliki porsi yang sama sekarang. Tapi cuma kamu, yang pertama dan terakhir aku pikirkan saat bangun dan mau tidur. Betapa bahagianya kalau pertama membuka mata, wajah kamu lah yang kulihat di sebelahku. Hal - hal seperti itu, cuma kamu objeknya."

Aku tersenyum tidak enak.

"Jelas kan maksudnya?"

Aku mengangguk.

"Apa perlu aku belikan kaca besar biar kamu sadar, betapa menariknya kamu."

"Ck."

"Kamu tahu gak, Tis, semua laki - laki umur dua puluh sampai empat puluh tahun di kantor ini, berharap bisa dekat sama kamu. Yang menikah saja, berharap ketemu kamu lebih dulu daripada istrinya." Lanjut Kukuh.

"Lebay kamu." Omelku.

"Apa perlu aku sebar petisi?"

Aku tertawa, dia memasang wajah serius.

"Beneran. Biar kamu buka mata, itu laki - laki banyak yang antri. Wajar kalau aku ngebut duluan."

"Iya udah ah, nanti aku terbang." Aku merapikan bekas makan kami.

"Harus aku apain kamu biar sa--" kata - kata Kukuh berhenti.

Dia berdeham sekali dan berdiri tegak, lalu berbalik membelakangiku.

"Kancing baju kamu lepas, Yang." Katanya.

Dan benar saja, dua kancing teratasku lepas. Membuat belahan dadaku terekspos sedikit. Aku segera balik badan dan memasangnya kembali. Wajahku panas. Aku malu.

"Aku balik ke ruangan ya." Pamitku.

Kukuh masih belum berbalik dan menjawab dengan suara kaku.

"Ya. Biar Pak Unang saja yang rapiin itu."

Aku diusir. Dengan cepat kuraih handphone dan pergi dari sana.

Begitu keluar dari lift, ponselku bergetar. Pesan dari Kukuh membuatku tercengang.

Celanaku tiba2 sempit, Yang. Km harus tanggung jwb. Kita nikah minggu depan!

Gila!

Kuabaikan pesannya dan berusaha mengalihkan pikiranku ke apa saja kecuali Kukuh dan adegan kancing lepas tadi.

Oh Tuhan, aku ingin berubah menjadi invisible girl saja boleh?

***

Selanjutnya, bisa dibaca lengkap di KBM Aplikasi 🙏🙏🙏

SILHOUETTE (Lengkap Di KBM & KaryaKarsa)Where stories live. Discover now