SATU

60.9K 4.6K 165
                                    

"Kamu yakin mau resign?" Mia menahan box tempat aku membawa beberapa barang di meja kerja.

Bekas meja kerja, maksudku.

"Yakin, Mi. Maaf, mungkin aku terkesan seperti ABG labil yang baru pacaran. Tapi gimana, aku enggak bisa sekantor dengan dia lagi." Jawabku.

Ya, sebut aku kekanakan. Hubungan asmara yang kandas berimbas pada karirku yang tidak seberapa ini. Bagaimana bisa aku bekerja dibawah kepemimpinan pria yang sudah berstatus mantan kekasih?

Hubungan yang sudah terjalin empat tahun, harus berakhir hanya karena di matanya, aku bukanlah perempuan dengan mimpi yang tinggi. Tekad yang kuat dan kinerja yang baik. Di matanya, aku hanya karyawan yang merasa cukup dengan gaji yang diberikan setiap bulan.

Dia hanya menginginkan perempuan ambisius yang giat belajar dan mengejar karir.

Itu aku empat tahun lalu. Sebelum Ibu divonis menderita demensia, sebelum kakakku satu - satunya menikah dan sibuk menafkahi anak istrinya. Sebelum beban di pundakku bertambah karena biaya kuliah adik yang kini dibebankan padaku sejak ayah tiada.

Aku tidak punya waktu belajar lagi. Semua waktuku habis untuk mencari pundi - pundi rupiah dan mengisi kantong - kantong beban yang sudah berjejer di depan mata. Biaya pengobatan Ibu, biaya kuliah adik dan segala tektek bengek yang dinamakan kebutuhan sehari - hari.

Karirku mentok di staf administrasi, tidak bisa naik, karena pendidikan terakhirku hanya SMA. Sertifikat - sertifikat pelatihan, tidak berguna. Mereka ingin gelar di belakang namaku.

Alfian berdiri di depan pintu ruangan, mengisyaratkan pada Mia untuk memberikan kami waktu berdua. Mia mengerti dan segera bangkit berdiri, lalu keluar sambil menutup pintu.

"Kenapa harus berhenti?" Tangan besar Alfian ingin menggenggam tanganku yang berada di atas meja, aku menarik tanganku turun ke pangkuan. Dia mendesah kecewa. "Kamu sudah dapat kerja lagi?"

"Kamu enggak perlu mengkhawatirkan aku, aku bisa cari kerja sendiri."

"Dengan pengalaman dan pendidikanmu, kamu akan melamar di mana?"

Aku memicingkan mata ke arahnya, "di manapun Perusahaan yang melihat pengalaman dan kinerjaku. Bukan pendidikan." Jawabku sengit.

Alfian menatap lekat kedua bola mataku, "aku masih sayang kamu, Tis. Kita bisa perbaiki--"

"Enggak ada yang bisa diperbaiki, Al! Aku bukan perempuan ambisius dan career oriented seperti dulu. Aku bukan tipe ideal perempuan yang kamu mau."

"Kamu masih sama."

"Enggak! Aku enggak sama. Aku muak dengan semua standar kamu, aku lelah. Energiku sudah habis--"

"Untuk memikirkan ibu. Aku tahu. Aku cuma mau membantu kamu."

"Kamu menuntut, Al. Kamu menuntut aku untuk menjadi seperti yang kamu mau."

"Demi kebaikan kamu, Yang."

"Kita sudah putus, kalau kamu lupa." Aku menghela napas lelah, "aku capek, Al. Capek."

"Cuti kalau begitu, jangan resign." Katanya, bersikukuh.

"Aku perlu jarak dari kamu."

"Kita enggak perlu putus, kalau begitu."

"Kita harus putus. Aku enggak bisa mensejajarkan diri dengan semua prestasi kamu. Aku bukan Tities yang dulu, Al. Aku enggak bisa ngimbangi kamu."

"Aku sayang kamu, Tis."

"Tolong approve surat pengunduran diriku. Aku harus pergi, Danish sudah menungguku sejak tadi."

SILHOUETTE (Lengkap Di KBM & KaryaKarsa)Where stories live. Discover now