ENAM

26.3K 4.2K 238
                                    

Pagi ini, ibu memintaku membelikan bubur lezat yang dulu sering mangkal di depan gang. Masalahnya, tukang bubur itu sudah meninggal dan tidak ada keluarga yang melanjutkan almarhum berjualan.

Ibu bersikeras menginginkan bubur itu. Memang buburnya agak beda dibanding bubur lain, ibu akan tahu jika aku membohonginya dengan membeli bubur di tempat lain.

"Kamu beliin bubur di dekat taman kota aja, Ra. Ada yang sama komposisinya."

"Kalau ibu enggak mau?"

"Yang penting kamu sudah beli. Sana, tolong ya."

Tiara mengambil kunci motor dan jaket, sambil menggerutu dia pergi keluar setelah aku memberinya uang.

"Tis," panggil ibu.

"Iya, Bu?"

"Yang tadi keluar siapa ya? Judes banget mukanya." Ibu mulai lupa dengan Tiara.

"Itu Tiara, Bu. Adik Tities. Anak Ibu yang bungsu."

"Tities sudah makan kamu, Nduk?" Ibu mengelus rambutku, aku mengangguk. "Ibu kepang rambutnya ya. Sebentar lagi kamu berangkat sekolah."

Kupeluk erat tubuh ringkih ibu, sambil meredakan gumpalan sesak di dadaku melihat kondisinya sekarang.

Ibu mengambil karet kecil - kecil yang kusediakan dan mulai mengepang rambutku.

"Badan kamu gede banget, Tis. Kalah deh Tirta." Karena aku sudah dewasa, Bu. Bisikku dalam hati.

Aku menepuk kaki ibu pelan. Melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Aku harus berangkat ke kantor sepuluh menit lagi.

"Assalamualaikum." Bu Ina datang, aku menjawab salamnya. "Belum berangkat, Tis?"

"Sebentar lagi, Bu Ina. Ohya, Tiara lagi beli bubur untuk Ibu. Nanti tolong dibantu sarapan ya, Bu." Bu Ina mengangguk dan berlalu ke belakang. "Bu, Tities mau berangkat kerja. Ibu enggak apa - apa kan ditinggal sebentar?"

Ibu menatapku dengan bingung tapi mengangguk. Kuraih tangan ibu dan mengecup punggung tangannya.

Tak lama ojek online pesananku datang, aku pamit pada bu Ina dan meluncur ke kantor dengan segera.

Ojek yang kutumpangi berhenti di pintu lobby. Memsudahkanku agar tidak berlari dari pintu depan.

"Makasi ya Pak!"

Tanpa sengaja mataku melihat sebuah mobil Ferrari merah yang dikendarai seorang pria seperti--Kukuh?

"Aduh! Maaf, maaf, Mbak!" Seorang pria menabrak bahuku di tangga depan pintu.

"Enggak apa - apa." Jawabku, sambil merapikan kemeja dan tas yang hampir jatuh karena tabrakan tadi.

Aku kembali mencari sosok Kukuh yang berada di dalam mobil Ferrari merah tadi, tapi mobil itu sudah kosong dan terparkir anggun di sana. Di parkiran khusus pejabat Turangga Herba.

Coffee shop sudah buka, aku melihat Wenny sedang mengantri. Baru mau nitip, pesanan Wenny sudah selesai.

"Yaah, baru mau nyela." Wenny terkejut mendengar teriakanku di belakangnya.

"Ih Kakak! Yasudah antri lagi sana, belum banyak kok." Aku mengangguk dramatis. "Aku duluan ya."

"Oke. Bye!" Wenny berlalu ke arah lift.

"Ikut antri dong." Bisikan di telinga membuatku bergidik, ternyata Kukuh berdiri di sampingku. "Asyik banget main hape."

"Kamu. Ngagetin tahu!"

Kukuh tertawa kecil, "ucapan terima kasihnya bisa dibayar sekarang kok."

"Hm. Nagih." Jawabku sambil memicingkan mata. Kukuh mengangguk santai. "Mau apa?"

SILHOUETTE (Lengkap Di KBM & KaryaKarsa)Where stories live. Discover now