DUA PULUH TIGA

17.2K 3.2K 97
                                    

Lingkaran hitam di bawah mataku terlihat jelas, setelah semalaman suntuk terjaga.

Apalagi kalau bukan karena detak jantung yang masih belum mau tenang sejak kepergian Kukuh malam tadi.

Apakah dia jatuh cinta padaku?

Mana aku tahu!

Kukatakan pada Kukuh untuk memastikan perasaannya sendiri, yang langsung disanggah pria itu.

Dia sangat yakin, bahwa hatinya sudah memilihku. Meski jawabanku padanya adalah untuk melupakan apapun yang dia bicarakan saat itu.

"Kamu bisa bilang begitu, karena bukan kamu yang merasakan api cemburu saat mantan dari orang yang kamu sukai masih berusaha mendapatkan hatinya kembali. Bukan kamu yang melihat usaha pria lain untuk mencuri perhatian orang yang kamu sukai. Karena kamu tidak berada di posisi saya, Tis." Dia menghela napas dan kembali melanjutkan monolognya. "Karena teori, selalu lebih mudah dari praktek."

Balasan Kukuh malam tadi yang sukses membuatku tidak bisa memejamkan mata sampai pagi.

Benarkah dia sudah melupakan Iska? Kita lihat saja.

Tiara sudah bersiap untuk memanaskan motor, dia akan mengantarku sebelum berangkat ke kampusnya.

"Cieeee yang gak bisa tidur, abis ditembak si bos." Tiara terkikik saat melihatku meratakan concealer demi menutupi kantung mata.

Kulirik dia sinis, Tiara membungkam mulutnya sambil membentuk tanda V dengan jari.

"Gak enak tahu Kak, kalau kita pacaran sama bos sendiri. Nanti kalau kita punya prestasi, dinyinyirin. Mending sama bos orang aja. Bos aku misalnya. Hihihi." Lanjut Tiara setelah aku siap menaiki motornya.

"Berisik. Ayo jalan!" Omelku.

Tiara terkikik lagi sebelum melajukan motor, bersatu dengan lalu lintas Ibukota.

Begitu sampai di depan kantor, Tiara kembali melemparkan kejahilannya padaku.

"Salam ya buat pak bos Kakak, semangat! Jangan menyerah."

Segera kupukul lengannya pelan sambil memelototi dia. Tiara mengaduh dengan berlebihan.

"Awas aja! Aku aduin sama pak bosku. Bye!" Dia menjalankan motor menjauh sambil meleletkan lidah sebelum aku berhasil menjitak helmnya.

"Pagi Kak Tities! Dianter siapa tadi?" Wenny menyapa saat dirinya turun dari ojek.

"Adek." Jawabku seraya tersenyum ke arahnya.

Kami berjalan bersama sambil berbincang, di depan lift kulihat Danish dan Arthur yang sepertinya terlibat adu mulut. Danish berdesis cukup keras, mengekspresikan kekesalannya pada apapun yang dikatakan Arthur namun terdiam saat menyadari kehadiran kami.

"Dan," sapaku pada Danish yang dijawab dengan senyuman kecil.

Kami menaiki lift bersama dalam diam, sementara Arthur pergi setelah menatapku dengan pandangan yang tidak kumengerti.

Baru saja menyalakan laptop, beberapa pesan menyapa ponselku. Pengirimnya masih sama. Gemilang.

Aku masih belum mendapatkan cara untuk bicara tanpa menyakitinya.

"Tis, telpon dari Danish." Makki mengulurkan gagang telepon wireless padaku.

"Ya Dan?"

"Tis, jawab jujur ya. Arthur pernah ngomong apa aja ke lo?" Danish bertanya tanpa basa - basi.

"Ada apa memang, Dan?"

Danish menghela napas lelah. "Gue tahu dia sinis banget sama lo, tapi enggak nyangka kalau dia se-enggak suka itu sama lo."

SILHOUETTE (Lengkap Di KBM & KaryaKarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang