TIGA PULUH LIMA

16.7K 4K 468
                                    

Aku sedang menunggu Kukuh yang berjanji akan menjemputku ke kantor. Sementara Tiara sedang bercerita tentang perempuan yang beberapa hari ini rajin datang ke coffee shop Gemilang dan mencari si pemilik.

"Cakep, Kak. Kayak artis." Aku hanya mengangguk tak acuh mendengarnya. "Tapi Mas Gege malah nungguin orang lain yang udah punya pacar." Cibirnya, seraya melirik penuh sindiran ke arahku.

"Bukan salah bunda mengandung." Komentarku sekenanya.

"Tuh udah dateng," Tiara melongokkan kepala keluar dan kulihat Kukuh sedang berjalan ke arah rumah kami.

"Kakak jalan ya."

Aku mengambil tas dan mengacak - ngacak rambut Tiara hanya untuk membuatnya kesal.

"Aku cuma nganter kamu ke kantor, ada breakfast meeting di Gatot Subroto." Kukuh memberi informasi, begitu melihatku keluar.

"Tahu gitu enggak perlu repot jemput, Pak."

"Prioritas." Ucapnya mantap dan membukakan pintu mobilnya untukku.

Aku memeriksa riasan sekali lagi di layar ponsel, memastikan semua teraplikasi sempurna sebelum Kukuh duduk di kursi pengemudi.

"Udah sarapan kamu?" Tanyanya sambil menyalakan mesin mobil, bersiap pergi.

"Udah."

"Sarapan apa?"

"Doa dan harapan." Jawabku bercanda.

Dengan cepat Kukuh mencium pipi kananku dan berujar.

"Aku tambahin pake cinta. Biar semangat sepanjang hari."

Kuyakin pipiku memerah sekarang. Aku buang muka ke arah kiri, gak mau Kukuh lihat wajahku yang memanas.

"Pake malu - malu. Udah kena yang lebih juga." Celetuknya, kucubit lengan kiri Kukuh dengan kencang. "Sakit, Yaaaang."

Dia mengaduh, aku menatapnya kesal.

Alih - alih menurunkanku di depan lobbi, Kukuh malah masuk ke parkiran basement. Dan parkir di depan lift.

Saat melepaskan seatbelt, aku merasa Kukuh menatapku intens. Tangan kirinya mengelus rambutku, menyelipkannya di belakang telinga.

"Kamu percaya sama aku kan, Tis? Apapun yang dikatakan orang di belakangku?" Aku menatapnya tidak mengerti. "Aku tidak peduli jika orang - orang tidak percaya, tapi kamu dan keluargaku harus tahu, bahwa aku tidak serendah itu berselingkuh dengan Iska."

Tuhan, ini masih pagi. Tapi aku tidak bisa mengabaikan sepasang mata yang sedang terluka di depanku.

"Ada apa, Kuh?"

"Hanya ingin memastikan, bahwa kamu tidak akan berpikir yang tidak - tidak tentangku dan Iska."

Aku menelan ludah dengan sulit.

"Sulit berpikiran tidak ada apa - apa antara kamu dengan Iska, setelah melihat kalian bertatapan seperti kemarin di rumah sakit." Aku-ku, mengalihkan tatapan selain melihat wajah Kukuh.

Tangan Kukuh membuatku kembali menatapnya.

"Rasa untuk dia sudah kukubur jauh sebelum bertemu dengan kamu, Tis. Aku hanya memandangnya seperti saudara perempuan yang tidak aku miliki. Begitu juga dengan Iska. Dia tidak menganggapku lebih dari seorang teman. Dan dia perempuan terhormat, yang tidak akan mengkhianati pernikahannya meski Azhar sebrengsek itu."

"Kamu baru aja memuji dia."

Kukuh menghela napas.

"Kamu akan suka berteman dengan Iska. Dia baik dan penyayang. Sulit tidak memuji sosoknya. Tapi kamu, lebih dari itu, kamu--" Kukuh melirik bibirku, dengan cepat kurapatkan bibir.

Ini masih pagi. Dan di parkiran. Siapa saja bisa melihat kami di dalam sini.

Tapi Kukuh, menarik daguku dengan lembut. Menempatkan bibirnya tepat ketika bibirku terbuka. Membuat lututku lemas meski masih dalam posisi duduk.

"Kamu adalah definisi dari kata sempurna."

Ucap Kukuh sesaat setelah dia menarik dirinya dari wajahku.

"Enggak ada manusia yang sempurna." Suaraku seperti kejepit, karena napas yang tiba - tiba tersengal.

"Yes, you are. Apa perlu aku bawakan lagu Ed Sheeran?"

Aku tertawa, memukul dadanya.

"Kamu terlambat nanti, aku turun ya."

"Nanti dulu," Kukuh menahan lenganku. "Aku akan meeting sampai malam. Sambil nunggu Danish juga. Nanti aja naiknya kalau Danish datang."

"Sifat kamu yang mana lagi yang aku belum tahu? Semena - mena, mesum." Aku menggerutu.

"Cuma sama kamu saja kok."

"Apanya?"

"Mesumnya."

Aku mendelik marah, dia tertawa dan melirik jamnya.

"Danish dandan dulu kali ya." Decaknya.

"Tahu gak ada penemuan abad ini yang bisa mempermudah untuk memanggil Danish?" Tanyaku sengit.

"Handphone. Aku udah bilang turun jam setengah sembilan. Kemana dia belum turun."

"Kamu nyuruh tunggu di mana?"

"Di hatimu." Jawabnya usil sambil mengacak - acak rambutku.

"Aduh, aku abis keramas." Sungutku.

Kukuh melirik usil. "Hayoo, semalam abis ngapain?"

Suara jendela disisi Kukuh diketuk dari luar, wajah Danish muncul di sana.

"Udah, Dan? Yang gue minta dibawa gak?" Tanya Kukuh saat membuka kaca jendela mobilnya.

"Sudah, Bos. Bawa Tities juga?" Danish mengedikkan dagu ke arahku.

"Maunya gitu, tapi nanti Tities enggak kerja. Perusahaan enggak jalan, gue bangkrut." Aku berdesis sambil meninju lengannya pelan.

"Udah ah, aku turun. Hati - hati di jalan ya."

Danish menggantikanku duduk di kursi penumpang.

Kukuh melambaikan tangan sampai aku masuk lift dan pintu tertutup. Memikirkan kekonyolannya membuatku tertawa sendiri.

Ketakutannya.

Gombalannya.

Kesungguhannya.

Aku menekan dada perlahan. Takut Iska bukan ujian sesungguhnya. Takut, ada hal lain yang lebih besar datang dan menghantam hubungan kami. Takut bahwa aku tidak cukup mampu bertahan dengannya lebih lama lagi.

Jenis ketakutan - ketakutan yang kurasakan, saat bersama Alfian. Tapi ini, bisa saja lebih berat dari itu. Mengingat posisi Kukuh dan betapa jauhnya jarak sosial di antara kami.

***

Selanjutnya, bisa dibaca lengkap di KBM Aplikasi 🙏🙏🙏

SILHOUETTE (Lengkap Di KBM & KaryaKarsa)Where stories live. Discover now