Diantara Rinai Dosa

Mulai dari awal
                                    

"Hah, rupanya anda sangat paham tipe-tipe wanita," Arinda menyeringai.

" Tentu saja, karna kehidupan ku  selalu dikelilingi wanita." tandasnya dengan nada sedikit meninggi.

Arinda merasa dadanya panas.

"Saya gak suka cara anda."

"Terus?" tantang Umar.

"Saya gak mau, ada hutang budi. Donor darah itu saja, sebenarnya cukup membuat saya merasa berhutang."

" Sudahlah, aku bukan tipe pria yang minta balas budi." Umar menatap Arinda dengan senyuman tipis.

"Uang anda akan saya kembalikan." Arinda sedikit berani membalas tatapan Umar.

"Oke, terserah kamu." sahut Umar dengan nada dingin.

-----------

Arinda sudah kembali bekerja, setelah empat hari ijin. Pekerjaannya tentu sangat menumpuk.

Sore ini adalah jadwal belajar Al Qur'an. Ia membimbing beberapa teman wanitanya belajar mengaji. Di bagian pria, Umar dan karyawannya pun sedang belajar.

Betapa Umar sangat bersyukur, karena Allah memberikan ia kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Ia merasa lebih baik setelah benar- benar memutuskan berhijrah, kematian papi membuat ia sadar bahwa setiap jengkal kehidupan sangat berarti untuk diisi dengan terus melakukkan perbaikan karena kematian datang dengan tidak terduga.

Arinda dapat mendengar dengan jelas setiap kali Umar mengaji. Semakin hari, bacaan Al Qur'an nya semakin baik. Arinda merasa Umar adalah orang yang cepat sekali dalam belajar. Dan tentu menjadikan pria itu memiliki point plus di matanya.

Usai belajar, semua pulang. Tinggal Arinda yang masih mengemasi barang- barangnya. Ia sadar, Umar masih berada di mushalla itu.

"Pak Umar!" panggilnya dari balik kain hijab.

"Ehmmmm." sahutnya. Ia asyik dengan ponselnya, membalas chat dari beberapa temannya.

"Ini," Arinda menyodorkan amplop berisi uang melalui bagian bawah hijab, ia sedikit mendorong amplop itu agar Umar bisa mengambilnya." Uang anda, saya kembalikan."

Umar melihat amplop yang baru saja Arinda sodorkan. Ia tak langsung memungutnya.

"Maaf, sempat terpakai. Jadi, baru saya kembalikan separuhnya. Yang separuh lagi, akan saya kembalikan saat gajian." ujar Arinda.

Umar selesai dengan chatnya, kemudian menutup ponselnya."Oke." Sahutnya. Lalu tanpa banyak bicara, ia ambil amplop itu lalu pergi.

Sikap Umar itu entah mengapa membuat irisan di hati Arinda. Perih.

-------------

Harri malam itu berpakaian cukup rapi, ia pergi menuju rumah mak Siti. Dengan membawa sekotak kue dan juga sepaket buah- buahan yang terbungkus cantik dengan plastik dan pita berwarna pink.

Arinda baru saja selesai menyuapi Faruq. Menyadari kedatangan Harri, Arinda memanggil mak. Wanita paruh baya itupun ke luar dari kamarnya. Ia merapikan jilbabnya, lalu ke teras menyambut kedatangan Harri.

Arinda menyuruh mbak Galuh membawa Faruq ke kamar. Entah mengapa perasaan Arinda sedikit aneh. Ia duduk di sofa ruang tamu dan mengintip dari tirai jendela ruang tamu. Ia melihat Harri tampak serius berbicara dengan mak.

Samar ia mendengarkan pembicaraan mereka.

"Jadi, kedatangan saya malam ini..." agak bergetar suara pria itu. Membuat mak Siti penasaran.

"Saya mau melamar Arinda." ujarnya dengan mantab. Mak Siti ternganga sesaat, kemudian tersenyum.

Arinda yang mendengarnya, jantungnya terasa ingin lepas. Tubuhnya tiba- tiba gemetar.

"Alhamdulillah, ini yang mak tunggu. Akhirnya kamu melamar Arinda."Mak hargai keberanian mu. Mak sih, setuju saja."

Harri bahagia dengan ucapan mak Siti.

"Tapi, diterima atau tidaknya. Itu tergantung Arinda." kata mak kemudian. Harri mengangguk.

Arinda menghela nafas, otaknya terasa tak berfungsi sebagaimana mestinya. Apa ia harus senang atau ... Ahhh, kepalanya terasa berdenyut.

"Nak Harri, beri kami waktu satu minggu untuk memberikan jawaban, ya." pinta mak.

"Iya, mak." Sahut Harri.

Arinda masuk ke kamarnya, mbak Galuh sudah menidurkan Faruq. Wanita kurus itu pun pergi dari kamar Arinda.

Arinda memandangi wajah tanpa dosa yang tidur pulas di hadapannya. Harus kah ia menerima lamaran Harri? Dan apakah ia harus membeberkan aibnya kepada pria baik itu? Bahwa dulu ia hamil tanpa menikah.

Kepalanya kini serasa berputar-putar. Dadanya semakin sesak. Bulir-bulir bening mulai berguguran membasahi wajahnya.

---------

Diantara Rinai Dosa (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang