Diantara Rinai Dosa

5.3K 350 7
                                    

"Bagaimana aku bisa yakin, bayi itu darah daging Dony?"

Satu kalimat yang menghujam keras, bagai belati yang menikam dadanya berkali-kali. Dadanya terasa sesak, bola-bola salju seakan berdesakan tak sabar ingin berlompatan dari matanya.

Tak disangka begitu sadis tanggapan wanita yang nyaris saja menjadi mertuanya. Ia pikir, orang tua Dony akan menyambut baik kehadiran Faruq. Arinda tak berharap lebih, ia hanya ingin orang tua Dony tahu bahwa Faruq adalah cucu mereka. Berharap bisa mengobati lara karena kehilngan Dony setahun yang lalu.

Wanita itu justru mengusirnya, memakinya, menudingnya sebagai wanita berwajah dua, mengatai bahwa hijab besarnya tak lebih sebagai topeng untuk menutupi kebusukannya.

Arinda pun melangkah pergi meninggalkan rumah megah itu. Ia memeluk erat Faruq yang terlelap dalam gendongannya. Tubuhnya yang dulu ringkih saat baru lahir, kini sudah mulai padat berisi. Arinda menciumi pipi Faruq diantara derai air matanya. Ia terus melangkah dengan hati yang porak poranda.

---------------------
Ditaruhnya Faruq dengan hati-hati di atas tempat tidurnya. Setelah kenyang disusui, bayi itu kembali tertidur. Sudah tiga bulan usia bayi itu, ia tumbuh dengan sehat dan dikelilingi kehangatan cinta orang- orang terdekat Arinda. Walau tanpa ayah di sisinya, Arinda bertekad untuk menjaga dan mendidik sebaik mungkin amanah yang Alllah berikan untuknya.

Kejadian siang tadi masih berkelebatan di benaknya. Ia mencoba untuk tetap tegar. Berusaha melupakan kejadian itu. Ia bersumpah tak akan membawa Faruq ke keluarga itu lagi.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

"Boleh mak masuk?"

"Masuk mak," sahut Arinda.

Wajah putih yang mulai dihiasi keriput itu pun muncul dari balik pintu. Ia mendekati Arinda yang tampak muram sejak pulang jalan tadi siang. Jemarinya yang gemuk itu membelai rambut Arinda yang terikat.

"Kenapa sayang, kok kayaknya sedih?" mak menaruh bokongnya pelan-pelan di pinggir ranjang. Menatap ke dua mata Arinda.

"Hhhhh...." Arinda menghempaskan nafasnya. " Arinda tadi siang nekad datang ke rumah orang tua Dony, mak." Arinda berujar dengan nada sesal.

Mak Siti kaget. Ia memang tidak tahu kalau Arinda pergi ke sana. Ia dan ibu Arinda sering mengingatkan untuk tidak usah membawa Faruq kepada keluarga Dony.

Karena kata ibu Arinda, semenjak mereka tahu Arinda hamil ketika koma saat itu. Kedua orang tua Dony tak pernah lagi muncul menjenguk Arinda. Ada kekecewaan yang terlukis di wajah ayah ibu Dony. Mereka juga tak percaya kalau bayi yang tengah dikandung Arinda adalah benih dari anak mereka.

Namun, Arinda rupanya ingin mencoba menyambung kembali hubungan dengan keluarga kaya raya itu. Ia ingin mereka tahu Faruq cucu mereka. Tapi, kenyataannya justru makian dan hinaan yang ia dapatkan.

"Maafin Arinda,mak."

Mak Siti meraih tangan Arinda, ia pegang jemari-jemari Arinda.

"Jangan pernah datang lagi ke sana. Benar, Faruq hasil hubungan terlarang mu dengan anak mereka. Ada darah mereka dalam darah Faruq." mak menatap ke arah Faruq yang tidur pulas.

"Tapi, kamu juga tau kan hukumnya anak di luar nikah?" kini mak Siti mengalihkan tatapannya ke Arinda. "Anak dari hubungan terlarang, statusnya bukan anak ayahnya. Tapi, anak ibunya. Sanadnya mengikuti ibunya, Faruq bin Arinda. Bukan Faruq bin Dony."

Dada Arinda kembali terasa sesak.

"Mak tidak sedang mengejek mu. Mak hanya mengingatkan mu pada kenyataan. Faruq tak ada hak apa pun di keluarga Dony, walau secara biologis dia benih dari Dony."

Mak mempererat genggamannya, ia berusaha menegarkan Arinda.

"Biarlah mereka tak menerima Faruq. Lupakan mereka, fokus pada Faruq. Kamu bertanggung jawab atasnya." mak memberikan senyuman penuh arti kepada Arinda.

"Mak bukan sok tau, mak dengar soal hukum anak tanpa nikah dari pak ustad yang biasa ceramah di majelisnya mak. Juga mak baca dari buku. Mak yakin kamu lebih paham." Ditepuk-tepuknya punggung telapak tangan Arinda dengan lembut.

"Jadi mau diakui atau tidak, gak usah sedih. Biarkan saja mereka dengan segala keangkuhannya, dengan segala pikiran kotornya. Biarkan nak, jangan kamu menjadi rapuh lagi hanya karena penolakan mereka terhadap Faruq.

Ini konsekuensi yang harus kamu terima. Jalani, dan ada banyak hikmah yang bisa kamu dapatkan."

"Iya mak,terimakasih atas nasehat-nasehat yang selalu mak berikan."

Arinda memeluk mak Siti dengan erat. Ia selalu mencerahkan disaat pikirannya digelayuti kegelapan.

Begitulah islam mengajarkan, bahwa anak diluar nikah adalah anak ibunya. Ia tak punya hak waris dan tak menyandang nama ayahnya. Ini sebagai konsekuensi yang Allah berikan kepada mereka yang melakukkan hubungan terlarang. Agar manusia bisa mengambil pelajaran.

-------------------

Kehadiran Faruq belum bisa memadamkan bara api di hati abah. Ia tak perduli dengan Arinda dan cerita-cerita istrinya mengenai Faruq yang semakin lucu.

Arinda pasrah saja atas takdirnya. Doa terus mengalir agar pintu maaf dari abah terbuka untuknya.

Faruq semakin menggemaskan jika melihatnya. Arinda berniat jika ia sudah berusia enam bulan, ia ingin bekerja.

Ijazah sarjananya belum pernah ia gunakan untuk melamar kerja. Sebab setelah wisuda, Dony mengkhitbahnya. Lalu ia disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Ditambah ia koma empat bulan, hamil dan melahirkan. Jadi sama sekali belum pernah melamar pekerjaan.

"Gak pa-pa ya,mak. Nanti aku kerja."
Arinda sedang mengganti pakaian Faruq yang basah  karena mengompol.

"Iya, gak masalah. Faruq biar mak sama Galuh yang urus. Kamu kerjalah, biar ijazahnya terpakai dan kamu bisa nambah pengalaman juga memperluas pergaulan." ujar mak Siti yang memainkan wajah dan matanya agar terkihat lucu oleh Faruq. Bayi itu pun tak lama tertawa melihat wajah mak.

"Aku juga harus membiayai Faruq. Juga bantu Ali yang masih sekolah. Masa bergantung sama mak terus."
Arinda  telah selesai memakaikan baju dan diapers pada Faruq. Mak Siti langsung menggendong Faruq dan menimang-nimangnya.

"Ah gak usah dipermasalahkan. Selama ini mak ikhlas sayang. Ibu mu juga sering kasih mak uang,katanya untuk tambahan sehari-hari. "

"Oh ya,biaya rumah sakit waktu itu sepertinya mak bantu, ya? Nanti saya ganti, kalau sudah punya  penghasilan ya,mak."

"Gak usah, lagian bukan mak yang bayar biaya rumah sakit waktu itu. Tapi si Harri yang  ba...." mak berhenti menimang Faruq dan menghentikan kalimatnya. Ia menyadari sesuatu.

"Apa mak?" Arinda menatap mak Siti yang gelagapan. "Harri...??Jadi dia yang bayarin persalinan aku?"

"I-iya sayang..." angguk mak dengan penuh rasa bersalah. Arinda tampak kurang suka mengetahui hal tersebut.
Jadi selama tiga bulan ini, mak Siti ataupun ibunya menyembunyikan hal tersebut darinya.

------------
Tubuh jangkung itu penuh peluh, kaos abu-abunya basah, begitu pula rambutnya. Ia duduk di tepi lapangan futsal. Ia mengambil sebotol air mineral dari dalam ransel merahnya. Sebagian temannya ada yang pamit pulang  dan beberapa masih duduk sambul ngobrol di bangku yang ada di tepi lapangan. Ada pesan WA masuk di HPnya saat ia menegak air mineralnya.

Diambilnya HP tersebut dari tasnya, ia buka HPnya dan  terbaca sebuah pesan dari Arinda. Seketika jantungnya berdebar.
"Tumben dia WA aku?" ia bergumam heran  bercampur  senang. Ia baca pesan Arinda.

'Terimakasih atas bantuannya, aku akan ganti uang kamu, jika nanti aku sudah dapat pekerjaan'.

"Aissshhh...kok dia jadi tau?" Harri berujar dalam hati. Lalu ia balas pesan Arinda.

'Maaf tapi kamu gak perlu gantiin uang itu. Aku ikhlas bantu kamu. Maaf jika aku meminta mak Siti untuk gak ceritain soal ini.'

Hampir lima belas menit menunggu sahutan dari Arinda, tapi tak ada juga. Akhirnya Harri pun pulang. Rupanya Arinda tak merespon pesan Harri tadi.

Sambil menyetir pikirannya melayang ke Arinda. Ia menduga-duga pasti wanita itu sedang marah padanya.

----------

Diantara Rinai Dosa (Sudah terbit) Where stories live. Discover now