Diantara Rinai Dosa

6.4K 362 12
                                    

Gadis munafik, gadis bermuka dua. Penampilan alim, sholehah. Tapi ternyata seorang pezina dan sedang mengandung anak haram.
Begitulah orang-orang mendeskripsikan Arinda yang sekarang.

Para tetangga di tempat abah dan ibunya, nyinyiran dan ghibahan semakin menjadi- jadi. Abah Arinda semakin malu untuk ke luar rumah, di sekolah tempatnya mengajar pun sudah mulai ada yang mengghibahi putrinya. Abah yang emosional kadang jengkel dengan cemooh orang, membuat ia kadang sampai melabrak orang yang diketahuinya sedang menggosipi dirinya dan keluarganya. Ribut dengan teman seprofesi, juga ribut dengan beberapa ibu-ibu tukang gosip di tempat tinggalnya.

Emosi dan malu membuat tekanan darah abah naik. Ia jadi sering sakit, sering absen tidak mengajar. Kemarahannya pada Arinda pun belum pudar, malah semakin menggila.

Ibu dan Ali adik lelaki Arinda, mereka lebih sabar dan ikhlas atas omongan orang. Mereka memilih diam, berpura- pura tuli dengan ejekan orang.

Di tempat tinggal Arinda yang sekarang, pun sama. Para penggosip riang menggunjing soal Arinda. Mereka juga kadang menyindir mak Siti yang rela menampung keponakan pezina seperti Arinda.

Tapi mak Siti santai saja, ia acuhkan saja mulut-mulut yang seakan tak pernah berbuat dosa itu.

Arinda pun berusaha acuh pada gunjingan orang. Walau kadang tak kuasa ia membendung air matanya. Tapi mak Siti dan juga ibunya yang selalu datang menengoknya di hari minggu selalu menguatkan hatinya.

Dan di pagi yang cerah itu. Mak lagi memilih sayuran di bakulan sayur langganannya. Seperti biasa ibu-ibu yang lain juga sibuk berbelanja sambil ngobrol ngarol ngidul.

Satu orang nyeletuk ke mak Siti,"Gak takut ketimpa sial dan kena dosa mak, nampung ponakan hamil tanpa nikah gitu?" mata wanita berbaju daster kembang-kembang berwarna merah itu melirik mak Siti yang bediri di samping kirinya.

Ibu- ibu yang lain jadi ikut-ikutan melirik mak Siti.

"Gak sih, justru yang saya takut kalo saya lama- lama dekat kalian. Bisa kecipratan dosa ghibah. Ngomongin aib orang, kayak lupa sama dosa sendiri.
Dan saya juga khawatir, orang yang aibnya lagi kalian ceritain sudah bertaubat dan Allah terima taubatnya, sementara kalian yang nyinyir asyik berghibah hingga gak sadar lagi numpuk dosa sementara pahalanya pindah ke orang yang lagi dighibahin." sahut mak Siti dengan santai.

Ibu-ibu tukang gosip itu pun pada diam. Ada yang tertunduk malu, tapi si ibu ber daster kembang-kembang tadi  malah menyeringai sinis.

Mak Siti dengan cuek membayar belanjaannya yang segambreng ke tukang sayur lalu pergi meninggalkan para penggosip yang masih berbelanja sayuran.

Begitulah mak Siti, orangnya cuek. Sekali bicara kadang mengena di hati.

Tubuhnya yang besar memasuki pekarangan rumahnya yang cukup luas, pekarangan yang ditumbuhi beberapa tanaman hias dan bunga serta sebuah pohon jambu air dan sebuah pohon mangga itu tampak begitu menyejukkan. Ada 5 orang anak 3 lelaki dan 2 perempuan berusia sekitar 5 tahunan sedang bermain bola. Mereka tersenyum melihat mak Siti menenteng satu plastik besar belanjaan.

Mereka memanggil-manggil mak Siti dengan riang. Mak Siti membalas panggilan mereka dengan hangat. Mengusapi kepala bocah-bocah tak berayah dan juga beribu tu satu persatu. Lalu pamit untuk masuk ke dalam rumahnya.

Saat melintas di ruang tamu, mak melihat Arinda yang sedang tilawah di kursi ruang tamu. Ia tersenyum melihat Arinda sudah bisa bergairah lagi menjalani harinya.
Arinda yang sadar dengan kehadiran mak Siti menghentikan bacaan Al Qur'annya lalu tersenyum. Mak membalas senyuman Arinda.

"Mak mau masak dulu ya, hari ini ada badan amil zakat yang mau silaturahim lihat pantinya mak." ujar mak Siti penuh semangat.

"Iya mak, nanti selesai tilawah Arinda bantuin mak sama mba Galuh di dapur. Boleh ya?"

"Boleh, tapi jangan kecapean. Kamu harus jaga kesehatan mu dan si dede bayi."

Arinda mengangguk sambil tersenyum.

----------

Tepat jam dua siang. Sebuah mobil luxio putih berhenti di pekarangan rumah mak Siti. Dua wanita muda berhijab lebar berwarna biru tua yang di susul tiga pria muda ke luar dari mobil tersebut.

Mba Galuh asisten mak Siti yang biasa membantu di panti mempersilahkan lima orang berpakaian rapi itu masuk ke ruang tamu panti.

Mereka berlima dipersilahkan duduk di atas karpet yang terbuat dari rotan atau biasa disebut lampit.

Lalu mak Siti datang dan menyambut tamunya dengan penuh suka cita. Beberapa anak panti yang masih berusia 5tahun seliweran di ruang tamu itu,rupanya sedang bermain mobil-mobilan dan boneka.

Tamu mak ini dari badan amil zakat yang baru dua tahun membuka cabang di kota ini. Mereka bermaksud memberikan bantuan berupa beasiswa sekolah, dan juga menyalurkan bantuan berupa peralatan sekolah, juga dana.

Mak pun menyambut antusias tawaran itu. Ia pun menjelaskan mengenai anak-anak di pantinya yang berjumlah 20 anak. 

"Dua orang sudah SMA, yang empat SMP, sembilan lagi masih SD. Lalu sisanya masih balita." jelas mak Siti.

"Yang SMA kelas berapa,bu?" tanya salah satu pria yang  beralis agak tebal.

"Kelas satu, dua-duanya kelas satu." sahut mak.

Dari arah pintu samping ruang tamu panti, Arinda muncul dengan membawa dua piring yang berisi kue. Di sebelah kanan, berisi kue bolu pandan dan di sebelah kiri berisi kue apem gula merah khas Banjar yang dibuat oleh mak tadi pagi.

Mbak Galuh menyusul masuk dengan nampan berisi air es sirup jeruk.

Saat menaruh piring berisi kue itu, pemuda beralis agak tebal tadi sesaat menatap Arinda. Pria berkacamata itu seperti terpikat dengan Arinda.

"Silahkan," ucap Arinda sopan kepada para tamu tersebut.

"Terimakasih," sahut dua wanita muda kompak.

Mbak Galuh meletakkan minuman itu di hadapan mereka. Lalu ia dan Arinda pamit kembali ke dapur.

Pria yang namanya tertulis jelas pada ID card yang tergantung di saku kemeja birunya "Harri Azwar" nama pria yang sedari tadi menatap Arinda, sedikit kaget melihat perut Arinda yang besar. Lalu ia bergumam dalam hati.

"Oh...sudah menikah."

--------------------

"Assalamualaikum." ucap pemuda bernama Harri ketika memasuki rumah besar dan mewah.

"Walaikumsalam," sahut wanita paruh baya yang sedang duduk dengan mata sembab.Wanita itu sedang membuka sebuah album foto.

"Hai, tante kok sedih," pemuda itu menatap wanita tersebut dari balik kaca bening yang melingkari ke dua indra penglihatannya.

"Iya Harri...tante sedih lihat foto-foto Dony." wanita itu sedikit tersenyum kepada Harri." oh ya,bagaimana pekerjaan mu?" ia mengalihkan perhatiannya kepada Harri.

Harri duduk di sebelah tantenya. "Alhamdulillah, menyenangkan."

Wanita itu menutup album foto yang ada di atas pangkuannya. Ia mencoba menghilangkan rasa dukanya dengan mendengarkan keponakannya itu menceriterakan soal pekerjaannya.

Beberapa bulan lalu putranya meninggal dalam kecelakaan. Wanita itu masih  berduka dengan kepergian putranya, untung Harri keponakannya yang datang dari Tarakan itu, dipindah tugaskan oleh kantornya ke Balikpapan sehingga bisa sedikit mengobati kerinduan pada putranya.

--------------

Arinda dengan perut besarnya tengah menyapu pekarangan berumput yang dipenuhi daun kering yang berguguran dari pohon mangga dan jambu.

Tiba-tiba matanya tertumpu pada satu benda hitam yang tergeletak di atas rumput, ia ambil benda itu.

"Dompet? Punya siapa?" desisnya.
Ia membolak balik dompet tersebut.

Dengan setengah ragu, namun penasaran ia buka dompet itu untuk mencari KTP atau tanda pengenal lainnya agar tahu siapa pemiliknya dan bisa mengembalikannya.

Saat membuka dompet tersebut, ada ID card terselip dan Arinda membaca nama yang yang tertulis di bawah foto.

"Harri Azwar."

-------

Diantara Rinai Dosa (Sudah terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang