1. Surga Tampak Lebih Dekat

Start from the beginning
                                    

"Iya, Pak, saya masih mau," jawabku antusias.

"Kalau begitu datanglah lebih awal. Sekarang, silakan keluar!"

Allahu Akbar! Harusnya aku tidak dulu mengucap alhamdulillah dia bertanya seperti itu. Benar-benar realita tak sesuai harapan. Aku sempat mendengar cekikikan dari teman-teman yang menertawaiku.

"Saya mohon, Pak, kali ini saja saya boleh, ya, ikutan kuis? Untuk selanjutnya saya tidak akan telat lagi. Saya janji." Aku tetap berusaha.

Pak Adam menyilangkan tangan di dada, menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Benar-benar horor manusia ini. Untung Allah baik kasih dia wajah yang tampan, kalau nggak, lah apa jadinya dia. Udah horor tambah lagi horor.

"Saya mohon, Pak, ya?" Aku sampai menyatukan telapak tangan memohon padanya. Berharap dia mau memberiku kesempatan, meski itu kemungkinan yang sangat mustahil.

"Saya hitung sampai 10, kalau kamu tidak keluar, saya tidak akan mengizinkanmu ikut kuis susulan," ucapnya.

Subhaanallah, kenapa ada dosen seperti dia sih? Bukankah sebelum jadi dosen dia juga jadi mahasiswa dulu ya? Masa' sih nggak tahu perasaan mahasiswa yang ditolak ikut kuis gara-gara telat?

"Tapi, Pak, saya mohon-,"

"Satu!"

"Pak, saya tidak pernah berniat menelatkan diri, Pak, gara-gara orang ngeselin yang sengaja nggak ngebangunin saya. Saya mohon, Pak, kasih saya kesempatan."

"Apa urusannya dengan saya?" katanya, "Dua!"

"Barang siapa yang mempermudah urusan orang lain, Allah akan mempermudah urusannya."ucapku dengan nada yang super cepat.

"Tiga!"

"Barang siapa yang mempersulit urusan orang lain, Allah akan mempersulit hidupnya," lanjutku.

Mendengar perkataanku, Pak Adam bereaksi semakin horor, matanya semakin menajam dengan sedikit pelototan. "Sembilan!"

Astaghfirullahaladzim! Manusia ini benar-benar tega. Aku langsung memutar tubuh dan berlari kencang keluar kelas. Setelah berada di luar kelas, aku mendengar gelak tawa teman-teman.

"Siapa yang menyuruh kalian tertawa?" Aku juga mendengar makhluk super tega itu menegur kelas. Dalam hitungan detik, kelas kembali hening.

Aku menghentakkan kaki jengkel. Bukankah Allah selalu memberi hamba-Nya kesempatan, kenapa dia yang hanya seorang hamba tidak mau memberikan kesempatan untuk hamba yang lain? Astaghfirullah... hamba macam apa dia.

***

"Kenapa muka ditekuk gitu?"

Aku melirik sumber suara. "Reeen..." panggilku dengan nada pengaduan.

Dia adalah Rendy, sahabatku sejak kecil. Rumahnya dulu berdekatan dengan rumahku, sejak lima tahun yang lalu, keluarganya pindah kompleks. Tapi, aku dan Rendy masih tetap bersahabat sampai akhirnya kami memutuskan masuk Universitas yang sama. Aku di Jurusan Keperawatan, sedangkan dia Jurusan Sendratari. Persahabatan kami tidak hanya kami berdua, ada Salsa yang juga satu kompleks denganku. Salsa dan Rendy satu Fakultas.

"Katanya hari ini ada kuis, kok, malah di kantin?"

"Itu dia..." Aku memungut satu botol es teh kemasan, kemudian menyeruputnya sebentar, "Aku telat jadinya nggak boleh ikutan kuis."lanjutku dengan mimik pengaduan.

"Makanya kalau belajar itu yang wajar, nggak usah berlebihan sampai nggak tidur, telat kan, jadinya," omelnya.

"Ih, kok, malah ngomel, sih?!" protesku.

[DSS 4] Diary SyabilWhere stories live. Discover now