Part 4

4.2K 466 0
                                    

#Di malam pertama penculikan Min Hee.

Min Hee membuka matanya dan semburat cahaya berasal dari api yang menyala di sebuah drum kecil menyambutnya tak ramah.

Min Hee membuka matanya dan semburat cahaya berasal dari api yang menyala di sebuah drum kecil menyambutnya tak ramah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ia melihat ke sekitar ruangan dalam pencahayaan seadanya. Tembok ruangan itu berwarna hitam kehijauan jika penglihatannya tidak salah, dan mungkin itu disebabkan oleh jamur. Terlihat menyeramkan alih-alih menjijikan karena bayangan hitam terus bergerak akibat kobaran api.

Luas ruangan itu sekitar dua kali lipat lebih besar dibanding kamarnya, terlalu besar untuk ditempati sendirian. Apalagi ia bisa memastikan masih ada ruang di belakang punggungnya. Ia tidak bisa berhenti membayangkan ada sebuah tangan yang tiba-tiba menggerayami punggungnya.

Selain itu, ia tidak menemukan apapun lagi kecuali sofa panjang yang dibungkus kain putih di depannya. Jika diperhatikan dari bentuk kusut kainnya, seseorang pernah duduk di sana sebelum ia sadar dari pingsannya.

Saat ia hendak menggerakkan tubuhnya, ia baru sadar kalau tangannya terikat ke belakang sementara kakinya terikat pada masing-masing kaki depan kursi.

Ia berteriak minta pertolongan, padahal logikanya sudah memberi tahu kalau pekerjaan itu pasti sia-sia. Tapi ketakutan berhasil menemukan keberadaannya, dan yang bisa ia lakukan adalah menjerit dengan harapan bahwa seseorang akan menyelamatkannya.

Usahanya untuk melepaskan tali berakhir dengan penyerahan diri di menit ke dua puluh lima. Pita suaranya juga sudah sakit mengeluarkan suara.

Dalam sisa-sisa tangisnya yang menggema di ruangan, ia mendengar derap langkah yang membesar mendekat ke tempatnya berada.

Di situlah ia merasakan darahnya mengalirkan listrik ke seluruh tubuh. Ia tidak ingin pertemuannya dengan penjahat itu terjadi, sekarang atau pun nanti. Kapanpun.

Sebuah siluet muncul di balik satu-satunya pintu yang ada di depannya. Sosok itu menggunakan hoodie hitam serta kupluk kepala seperti yang diingatnya terakhir kali.

Napas Min Hee jadi tidak beraturan dan ia tidak bisa mengendalikan rahangnya yang gemetar berusaha menggumamkan kata yang entah apa.

Sosok misterius itu menyiramkan bensin ke tungku api, sehingga elemen cahaya panas itu berpijar lebih besar dibanding sebelumnya.

Sosok itu kemudian duduk dengan santai, bahkan punggungnya menyender ke sofa. Sayangnya, Min Hee masih belum bisa melihat dengan jelas wajah sosok itu.

“A-apa maumu?” tanya Min He menggigil.

Tidak ada jawaban dari lawannya. Mungkin pertanyaan barusan memang tidak akan pernah ada jawabannya juga.

“Aku mohon!” Min Hee menggigit bibirnya karena sudah tak sanggup lagi bicara.

“Lepaskan aku!” Suaranya hampir menghilang.

Tetap tidak ada respons dari sosok misterius itu.

Min Hee tidak tahu sudah berapa lama ia di sana, atau berapa lama lagi ia akan dikurung oleh penculik yang bahkan tidak menyebutkan maunya. Bagaimana jika orang itu tidak mengharapkan tebusan tapi sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih buruk, pikirnya.

Ia kembali menangis histeris. Toh memang itu saja yang bisa dilakukannya saat ini.

Ia mencoba melepaskan tali pengikatnya, sampai pergelangan tangannya sudah terasa perih saat bergesekan dengan tambang.

“Jika kau memberiku kesempatan untuk menghubungi orang tuaku, mereka akan mendengarkan semua maumu,” ucap Min Hee parau.

Pemuda itu membiarkan kesunyian mengambil alih sesaat.

“Mereka bahkan tidak akan tahu kau ada di sini.” Suara berat keluar di balik kupluk tanpa ada aba-aba, menciptakan kengerian tersendiri untuk orang yang mendengarnya.

Air mata Min Hee jatuh untuk ke sekian kalinya, mungkin sudah cukup untuk membasahi sebagian bajunya.

Hal yang membuatnya semakin menderita adalah ia bahkan tidak tahu apa yang membuatnya berada di sana, apa benar itu hanya kesialannya saja atau ada hal lain, pikirnya.

“Setidaknya sampai aku mengizinkan mereka untuk tahu,” lanjut pemuda itu bernada puas, mengetahui bahwa dirinyalah yang memiliki kendali penuh terhadap keadaan.

“Ini belum dua puluh empat jam, kuyakin. Jika kau membuatnya lebih cepat dan sederhana, polisi bahkan tidak akan tahu bahwa kau menculikku,” kata Min Hee mencoba membujuk pemuda itu.

“Jangan mengaturku!” sentak pemuda itu dingin.

Min Hee menatap pemuda yang masih merahasiakan identitasnya itu dengan gentar, walaupun pada kenyataannya tidak bisa ia temukan manik mata lawan bicaranya di keremangan ruangan.

“Jika tebusan yang kau inginkan, seharusnya kau tidak membuatnya menjadi lebih rumit begini,” kata Min Hee mulai mendapatkan kepercayaan diri bahwa pemuda itu mungkin hanya orang labil yang sedang berontak saja, artinya seseorang yang bahkan tidak bisa menjelaskan apa yang dilakukannya.

Tiba-tiba dering telepon mengganggu percakapan mereka, membuat si pemuda pergi untuk mengangkat panggilan itu yang secara otomatis meninggalkan Min Hee sendirian.

TBC

SYNDROME ||Jeon Won Woo|| ✔Where stories live. Discover now