12th Hour

212 34 28
                                    

"Ah, maaf ... aku hanya--"

Laila makin cepat membuat jarak antara wajahnya dengan Dean. Gadis itu menunduk dalam. Sudah pasti wajahnya memerah, malu sekali. Sangat malu. Laila belum pernah merasa semalu ini dalam hidupnya.

Barusan kamu ngapain, Laila? omelnya pada diri sendiri.

Sampai menit berikutnya, Laila masih belum sanggup mengangkat kepala. Lama-lama dia jadi merasa janggal. Kenapa Dean diam saja?

"Eh?"

Baru saja Laila ingin mendongak untuk mengecek Dean, sentuhan dingin dari telapak tangan lebar milik Dean ke pipinya yang panas, membuat gadis itu membeku.

Wajah Dean terlihat sendu.

"De?" Laila menepis pelan tangan Dean, saat pemuda itu masih belum membuka suara. Ke mana Dean yang berisik dan cerewet? Kenapa wajahnya seperti itu? Ke mana senyum lebar yang terkesan bocah itu?

"Laila ...."

Laila tidak tahu kenapa, tetapi hatinya benar-benar menolak membiarkan Dean berbicara. Dia segera memindahkan Jian dari pangkuannya ke sofa, lalu bangkit berdiri. "Kita keluar, yuk?"

Kini keduanya tengah duduk di atas rumput halaman rumah Laila. Mendongak ke atas, menatap langit gelap yang dipenuhi bintang.

"Indahnya," gumam Laila pelan. Ia melirik Dean sekilas, dan menemukan pemuda itu tiba-tiba memalingkan wajah darinya. "Dean?"

Dean tidak menjawab.

Tentu saja hal itu membuat Laila sedih. Kenapa Dean tiba-tiba berubah? Apa dia marah karena Laila bersikap ketus saat makan malam tadi?

Laila kembali melihat ke atas. "Langit itu ... luas sekali, ya?" Laila sadar, Dean kembali menoleh padanya. "Saking luasnya, menjadi tempat bernaung berbagai macam bintang."

Angin malam berembus lembut.

"Langit itu, menjadi tempat kita menatap ketika memohon. Kenapa begitu, ya?" Gadis itu terkekeh pelan. Kekehan paksa, penuh arti tersirat.

Keheningan melanda keduanya. Lama. Laila menunggu Dean untuk mengatakan sesuatu, tetapi Dean hanya menunduk. Kenapa dada Laila terasa sesak?

"Apakah," Laila memaksa bibirnya untuk tersenyum, memecah keheningan, "apakah jiwa-jiwa juga pergi melalui langit? Apakah ... Dean juga akan begitu?"

Akhirnya Laila memberanikan diri menoleh pada Dean. Senyum di bibirnya lentur seketika, tatkala air matanya jatuh melihat tatapan getir yang Dean tunjukkan padanya.

"Aduh, banyak debu malam ini." Laila buru-buru mengusap matanya, terkekeh paksa sekali lagi. Cengengnya. Masa Laila menangis karena sedih Dean akan pergi?

Sebenarnya, bukan itu. Yang paling membuat Laila merasa sedih itu:

Kenapa aku baru menyadari perasaanku pada Dean?

Laila mengambil napas. "Kalau kamu bisa dilahirkan kembali, kamu mau jadi apa, Dean?" Gadis itu mengembuskan napas. Meskipun ingin, dia masih belum bisa melihat Dean. Takut sesuatu akan lolos membasahi pipinya lagi.

"Tentu saja manusia. Karena Dean mau bertemu lagi dengan Laila."

"Aku harap itu benar-benar terjadi," timpal Laila pelan.

"Dean berharap sekali."

Lagi-lagi keheningan yang tidak mengenakkan menyelimuti keduanya.

Laila tidak tahu sekarang jam berapa. Sebentar lagi jam sembilan. Dean bisa pergi kapan saja. Apa begini saja akhirnya?

Laila bangkit berdiri, agak tiba-tiba. Dean di sampingnya jadi ikut berdiri.

Setelah sekian lama tidak bertemu dengan perasaan ini, lagi-lagi dia tidak beruntung. Apa dia akan biarkan saja Dean pergi dan menyimpan perasaannya dalam-dalam?

"Laila ...."

Mata Laila membulat, terkejut ketika tubuhnya sudah berada dalam dekapan Dean yang hangat. "De...?" Suaranya bergetar, tangannya terangkat ragu untuk memeluk balik.

"Dean tidak mau pergi ...."

Hancur sudah. Laila tak peduli lagi jika dia benar-benar menangis seperti anak kecil, atau tangannya yang memeluk Dean terlalu erat. "Aku juga tak mau Dean pergi ...."

Tiba-tiba, Laila dapat merasakan Dean dalam pelukannya terangkat ke atas, membuat dekapan mereka terlepas.

"Dean?" Laila berseru panik.

Dua menit lagi menuju jam Sembilan tepat.

"Laila, maafkan Dean karena memiliki perasaan ini." Tubuh itu perlahan-lahan melayang ke langit, tetapi Laila tetap menggenggam erat kedua tangan Dean.

"Dean ... kumohon." Laila mulai tersedu sedan.

"Dean cinta Laila."

Air mata Laila makin deras. "Aku juga! Aku juga mencintaimu, Dean." Rasanya tak pernah Laila menggenggam sesuatu seerat ini sebelumnya. "Kumohon jangan pergi ...."

Laila benar-benar tidak peduli jika buku-buku jarinya memutih. Kaki Dean sudah melayang lebih tinggi dari kepalanya, dia ingin menahan Dean lebih lama lagi.

"Laila, jangan menangis." Laila menggeleng. "Jangan menangis, dada Dean jadi sakit." Gadis itu memejamkan mata sejenak, saat jempol Dean mengusap lembut air matanya.

Sepuluh detik lagi.

Laila terkejut saat Dean melepaskan genggaman tangannya. Namun ternyata, wajahnya sudah dibingkai oleh tangan lebar itu.

"Laila harus berjanji, di kehidupan selanjutnya, Laila akan tetap cinta Dean." Ternyata Dean juga sudah menangis.

Laila mengangguk cepat. "Aku ... aku berjanji."

Wajah mereka semakin dekat. Dengan waktu yang tersisa, keduanya menyatukan bibir sembari memejamkan mata. Ciuman terakhir yang penuh akan rasa sakit perpisahan. Ciuman yang asin.

Tak sampai tiga detik, tubuh Dean benar-benar menghilang.

"DEAAN!"

Laila tak peduli suaranya mengganggu tetangga. Dean sudah pergi. Dia benar-benar menghilang. Yang tersisa sekarang hanyalah langit berbintang yang penuh keheningan.

 Yang tersisa sekarang hanyalah langit berbintang yang penuh keheningan

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Aloohaaa

Bingung, kenapa file dari WPS yang dikopi ke sini, jadi hilang beberapa tanda baca, terutama tanda kutip 😭😭

Well, udah tamat! Hari Kamis part terakhir~

Makasih udah nemenin dua belas jamnya Laila sama Dean yang terasa dua bulan 😂😂

22 Oktober 2018

A Half Day [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon