Sisi Lain part 4

Mulai dari awal
                                    

"Lo sendiri? Emang lo punya pacar? "
Tanya Al balik.

"Hahah,,, gue masih sekolah. Mana ada waktu buat pacaran! "

"Jadi lo jomblo? Maksud gue, masa sih lo jomblo! "
Dia nanya sendiri jawab sendiri. Kan aneh.

"Emang kenapa kalo gue jomblo? Salah? " tanya gue nggak terima.

"Ya enggak papa. Hak lo kok ."

"Al, kehidupan gue itu nggak seberuntung kebanyakan temen kita di kelas. Punya keluarga utuh, tiap bagi raport kenaikan selalu bawa orangtua. Atau kalo mereka sakit, yang dateng untuk izin orangtua mereka juga. Gue nggak seberuntung itu. " ucap gue tiba-tiba.

"Kadang gue mikir deh, apa sih salah gue sebagai anak sampe gue harus ngerasain nggak enaknya hidup di usia gue yang masih butuh kasih sayang mereka? " lanjut gue.

Seketika suasana jadi serius.

"Maaf ya, kalo boleh tau orangtua lo di mana? " tanya Al hati-hati.

"Mereka ada. Tapi pisah. Dan gue milih tinggal di rumah Ve. Itu salah satu alasan gue kenapa gue belum mau pacaran. " jelas gue jujur.

"Gue pengen fokus belajar, biar bisa raih cita-cita dan buktiin ke semua orang bahwa ketidakberuntungan gue bukan halangan untuk gue jadi orang sukses!"

"Hebat. Gue suka cara berpikir lo. Gue iri deh! "

"Hah? Iri ? Kok iri? " tanya gue heran.

"Ya karena meskipun dukungan orangtua nggak sepenuhnya ada, tapi cara berpikir lo dewasa! " jelas Al.

"Gue belajar dari pengalaman, Al. Kadang waktu mereka cuma untuk keluarga baru mereka dan gue terabaikan. Jadi, suatu saat kalo gue bisa sediain apa yang gue butuhin, gue nggak akan mengandalkan mereka lagi! "

"Tapi, lo nggak akan lupain mereka kan? "
"Ya enggaklah. Seburuk apapun perlakuan mereka, mereka tetep orangtua gue. Yang udah lahirin gue, besarin gue. Nggak ada mantan orangtua, Al. "

Al tersenyum. Sedang mata gue berair. Entah kenapa gue jadi terharu sendiri ceritain ini.
Tiba-tiba gue jadi rindu mereka. Apa yang mereka lakuin sekarang, apa ada yang rindu gue juga?

untuk mengalihkan kesedihan, gue coba nanya dengan topik yang berbeda.

"Terus lo gimana? Kemarin lo belum cerita soal bapak-bapak yang mau ambil motor lo! "
Sejujurnya gue masih amat penasaran sama kisah Al. Bukan karena gue udah cerita masalah keluarga gue dengan harapan Al akan melakukan hal yang sama, tapi emang gue bener-bener penasaran.
Kalo nggak dijawab tuh rasanya ada yang ganjel. Dan itu nggak enak.

Al keliatan mikir. Kayaknya lagi nyiapin sesuatu untuk diucapkan.

"Sebenernya kita itu sebelas duabelas. Sama-sama korban perpisahan. "
Ucap Al.
Gue kaget, kenapa bisa?

"Gue sengaja keliatan urakan, nggak keurus, terus ngamen. Itu semua punya alasan. " lanjutnya seperti tau kalo gue butuh alasan atas pernyataan mengejutkannya itu.
Al menarik napasnya,
"Gue mau orangtua gue liat betapa gue kacau tanpa mereka. Gue pengen mereka sadar, gue masih butuh mereka! " wajah Al berubah. Kayak ada beban yang tersimpan di sana.

"Dua tahun lalu, Oma gue meninggal. Saat itulah kedua orangtua gue terang-terangan ribut di rumah karena nggak ada lagi yang mereka segani.
Dan pada akhirnya mereka pisah.--"

"Gue sendirian. Nggak tau harus ngapain. "
Tiba-tiba mata Al berair. Sama kayak gue tadi.
Pandangannya menerawang ke atas .
Ternyata ini sisi lain orang yang sering gue nilai buruk.
Gaya serampangan, urakan, nggak keurus. Gue selalu nilai seperti itu tanpa tau alasannya.
Betapa jahatnya pikiran gue.

"Tapi gue salut sama lo, Yuki. Lo punya pemikiran sehebat itu. " Al hapus airmatanya yang gue yakin selalu dia tahan.

"Lo tetep kuat. Nunjukkin betapa lo bisa berdiri tanpa ada mereka. Sedang gue enggak! " puji Al ke gue.

Dengan refleks, gue pegang tangan Al. Gue pengen dia tau kalo sekarang gue ada untuk dengerin dia. Untuk jadi temen berbaginya.

"Al, andai gue sendiri. Mungkin ceritanya akan beda. Gue nggak akan bisa setegar ini. Dan sekarang gue sadar, saat gue ngeluh atas kehidupan yang gue anggep nggak adil ini, di tempat yang sama ternyata lo nggak seberuntung gue. Maafin gue ya!. " gue ngerasa nggak enak.
Gue selalu nyalahin takdir atas apa yang gue alami, tapi gue lupa cara bersyukur atas apa yang udah Tuhan gariskan untuk takdir gue.
Dengan kasus ini, Tuhan beri gue kesadaran bahwa tiap orang punya masalah.
Maaf, Tuhan. Hamba lalai dalam bersyukur . Padahal hamba tau bahwa Engkau akan memberikan berkah yang lebih jika hambaMu  bersyukur.

Al nunduk. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Dan Al,,,, terisak.

"Nangis aja, Al kalo ini bisa buat lo lega. Keluarin semuanya. Keluarin beban yang selalu lo simpan. " ucap gue mendukung.
Gue yakin, airmata yang keluar bisa ngurangin beban. Seenggaknya saat kita nggak bisa ngelakuin hal yang lebih baik selain ini.

Gue dulu juga gitu. Nangis nyaris tiap hari kalo denger orangtua gue ribut. Makanya gue tau rasanya jadi Al sekarang.

"Dua tahun Yuk. Dua tahun gue simpan ini rapat-rapat. Dua tahun gue hidup tanpa perhatian. Gue lari ke hobby gue. Nyanyi, main musik, basket. Tapi tetep aja, gue nggak bisa lupa kalo gue saat ini kesepian. Nggak punya tempat berbagi. Nggak ada kasih sayang. Mereka lupa kalo mereka masih punya anak. "
Jelas Al panjang.

"Mereka selalu ancem akan ambil satu-satunya kenangan Oma kalo gue nggak nurut. Bagi mereka, gue harus jadi Al yang dulu."

"Rapi,bersih, nurut. Mereka benci saat liat gue mirip anak jalanan. Tapi, mereka nggak sadar, segala perubahan gue itu untuk mancing mereka dateng. Tapi enggak. Mereka cuma ngasih gue peringatan, dan itu pun melalui perantara. "

"Bagi gue, keluarga sekedar nama. Nggak ada makna apapun di dalamnya. "

Liat Al saat ini, nggak tau kenapa dada gue rasanya sesak. Airmata gue ikut jatuh. Gue mengeratkan pegangan tangan gue. Gue usap punggung dia berulang. Gue pengen dia kuat.

Tuhan, bisakah Engkau memberikan kami keajaiban?
Kirim kedua orangtua kami ingatan jika dulu mereka pernah bahagia ketika kami lahir di dunia.
Berikan mereka kesadaran jika mereka masih punya tanggung jawab atas kami, anak-anaknya.

**

Maaf atas keterlambatan update-nya.
Insya Allah next part selesai.

Short Story ( Alki Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang