Bab 4: 1st Personal Encounter

32 11 14
                                    

"Aku menengok dan wajah Tristan sedang tersenyum hanya berjarak 10 cm dari wajahku."





"Berdiri sesuai dengan nomor kloternya masing-masing! Jangan sampai ada yang salah kloter!"

"Berdiri yang tegak, tangan di kepal!" 

"Dipercepat jalannya, jangan lelet!" 

"Jangan lari, nanti jatuh. Jalan aja!" 

Teriakan demi teriakan melalui speaker  toa begitu nyaring terdengar hingga memekikkan telinga. Suaranya yang tumpang tindih dengan perintah yang berbeda-beda, membingungkanku. Aku tak tahu harus berlari kemana karena begitu banyak mahasiswa baru yang berlarian disekitarku. Saking padatnya, aku terdorong-dorong oleh arus dan beberapa mahasiswa baru saling bertabrakan.

"Kamu! Rambut kuncir kuda!" Aku menutup kedua kupingku rapat-rapat ketika suara teriakan melalui toa begitu nyaring terdengar, hingga gendang telinga kiriku terasa hampir pecah. Kating yang bernama Tristan itulah yang menempelkan toanya. Setelah sadar si rambut kuncir kuda adalah aku, dengan sesopan mungkin aku menyahutinya. "Saya, Kak? Iya ada apa?"

"Kamu kloter berapa? Kenapa diam aja? Awas jatuh kedorong arus." Sudah ganteng, perhatian pula. Itulah yang terlintas dibenakku sebelum beberapa detik kemudian ia kembali berteriak. "Cepat cari kloternya! Jangan bengong aja. Oh iya, kalo besok kamu masih di kuncir kuda, saya potong rambut kamu!"

SNAP! Aku telah melanggar aturan. Aku baru ingat, untuk perempuan yang tidak menggunakan hijab harus dikuncir dua, kanan-kiri. Sebenarnya, tadi aku terburu-buru dan asal mengikat rambutku sehingga aku lupa akan peraturan tersebut.

"Berdiri yang tegak, tangan di kepal!" teriak seorang senior lain yang sekarang suaranya menjadi pusat komando. "Upacara pembukaan akan dimulai 10 menit lagi. Dilanjutkan dengan umbrella mob dan yang terakhir membentuk kelompok kecil dengan mentor seniornya masing-masing. Bisa dimengerti?!"

"Siap, bisa!" jawab sekitar seratus mahasiswa baru serentak.

Matahari yang begitu terik ditambah kondisi perut kosong berhasil membuatku lemas. Aku terus menggoyang-goyangkan kakiku secara diam-diam saat pandangan mata mulai sedikit kabur. Bermaksud agar aku tidak sampai pingsan.

"Kalo sakit bilang ya. Jangan dipaksa." bisikkan halus terdengar dari telinga kananku. Aku menengok dan wajah Tristan sedang tersenyum hanya berjarak 10 cm dari wajahku. Matanya begitu bening, kulit wajahnya begitu putih dan mulus, tulang hidungnya begitu... ah, ia terlihat seperti mannequin. Tidak ada yang nyata dari wajahnya karena semua begitu sempurna. Aku telah ditelan habis-habisan oleh ketampanan seorang Tristan.

"Oke?" ucapnya yang berhasil menyadarkanku kembali dari lamunan. Ia memastikan bahwa aku akan melapor ke panitia kalau–kalau sudah tidak kuat. Anggukan dariku menggantikan kata 'iya'. Aku lupa bagaimana cara berkata-kata setelah kejadian sekian detik tadi.

Ia seperti memiliki kepribadian ganda yang menjadi daya tariknya yang lain. Saat aku berpikir dia orang yang lembut, suara teriakannya yang tegas mampu membuatku ketakutan dan berubah pikiran. Namun, kemudian ia datang dengan bisikkan yang penuh kelembutan. Playboy, tahu dengan benar bagaimana cara menaklukan hati wanita.

"Tadi Mas Tristan bilang apa ke kamu, Ann?" tanya Hani yang ternyata ia berdiri dibelakangku. Hanya terhalang satu orang sehingga dapat dengan jelas menyaksikan kejadian tadi.

Sesaat sebelum waktu istirahat makan siang, aku menoleh ke sekitarku dan mendapati kalau aku, Hani, dan Melan berada dalam satu kloter. Sedangkan Farhan dan Karti berada di kloter sebelah.

Mon Perfect MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang