TEDUH [1]

163 29 36
                                    

--Sekarang aku sudah tidak menyukai pagi. Karena mulai saat itu, aku bertemu dengan kenyataan bahwa aku sudah kehilanganmu--

###

Matahari seakan tak pernah bosan menyinari kami berdua. Ya, aku dan Elara sedang berjalan menyusuri jembatan penyebrangan orang dengan langkah cepat dan tumpukan kertas berada ditangan.

Suasana Jakarta tak pernah berubah. Malah semakin hari semakin ramai. Suara klakson mobil dan bus memenuhi hiruk pikuk kota Jakarta. Apalagi saat jam makan siang seperti ini. Ah Jakarta, apakah kau senang dengan keadaan ramai seperti ini?

Keringat mengucur deras dari kedua pelipisku. Dengan seragam putih abu-abu yang sedikit lusuh, aku berjalan diantara keramaian kota Jakarta. Bersama Elara, teman sebangku yang baru kukenal tiga hari itu.

"Berapa lama lagi akan sampai, Cha?" Elara yang tadinya berjalan tergesa-gesa, sekarang sedikit melambat karena mungkin, kelelahan.

"Sedikit lagi, ayo lebih cepat!" Ajakku. Kemudian, Elara hanya mengangguk setuju.

Maklumi saja, Elara baru tujuh hari berada di Jakarta. Jadi dia tidak begitu hafal dengan jalan kota Jakarta yang cukup luas.

Setelah itu, kami berdua mempercepat langkah agar segera sampai ke sekolah.

Kalian mungkin bertanya-tanya, kenapa aku dan Elara berada disini saat jam sekolah dan masih memakai seragam putih abu-abu.

Di hari ketiga aku berada di Sekolah Menengah Atas, aku sudah melakukan tindakan yang sedikit ceroboh. Apalagi kalau bukan, 'lupa membawa tugas'.

Padahal, semalam aku sudah memisahkan tumpukkan kertas yang berisi tugas itu kedalam sebuah paper bag yang selalu kubawa ke sekolah. Entah sedang sial atau bagaimana, aku lupa membawanya. Beruntung, Pak Hanan mengizinkanku pulang untuk mengambil tugas-tugasku, mengingat ini baru hari ketiga masuk sekolah.

Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri pada kalian. Aku Rindu, Rindu Nasocha. Panggil aku Ocha, jangan Rindu. Karena yang boleh memanggilku Rindu hanya dia. Dia, yang menganggap dirinya adalah Planet Mars.

Ah! Kenapa pengenalanku jadi menyimpang ke pria itu?

Nanti saja menceritakannya, kalian akan segera tahu siapa dia. Namanya akan memenuhi setiap bab dalam cerita ini. Berdoa saja kalian tidak akan jenuh mendengar nama Mars. Aku pun tidak akan pernah bosan menulis nama Mars disini. Ya, Mars saja. Jangan ada yang lain.

Tuh kan! Jadi keterusan deh menuliskan nama Mars. Tadinya sih, aku tidak ingin menulis banyak nama Mars di bab ini. Karena kalian akan segera bertemu dengannya pada bab-bab berikutnya. Tapi, karena aku senang menulis nama Mars, gak apa-apa deh. Hitung-hitung, bonus buat kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Hehe

Setelah lama berkeliling di ruang guru, akhirnya aku dan Elara berhasil menemukan meja Pak Hanan. Wajar jika kami tidak menemukannya dari tadi, ternyata meja Pak Hanan berada di depan pintu masuk ruang guru. Aku dan Elara tadi mencari sampai masuk ke dalam. Benar-benar menguras tenaga, mengingat ruang guru yang ada di sekolahku sangat besar. Gurunya pun hampir berjumlah seratus orang. Lebih mungkin?

"Aku cape banget deh, Cha! Rumahmu lumayan jauh ya dari sekolah?" ucap Elara sembari meminum es teh manisnya. Setelah kelelahan mencari meja Pak Hanan, aku dan Elara memutuskan untuk minum es teh manis Bude di kantin. "Kamu ke sekolah, biasanya naik apa?"

TEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang