🍁 T I G A P U L U H S E M B I L A N 🍁

Magsimula sa umpisa
                                    

Selama Arthur berjalan ke basement Kinzy benar-benar berusaha keras untuk menahan suara teriakannya. Ia tidak ingin mengusik para penghuni apartemen yang lain dengan teriakannya.


Sesampainya di basement, mobil Arthur langsung melaju kencang keluar basement dan bersaing di jalan raya. Selama di dalam mobil Kinzy sudah mengeluarkan air matanya sambil berteriak untuk melampiaskan rasa sakitnya.

"Arthur, makin sakit!!!" Kinzy mencengkram bangku mobil hinga buku-buku jarinya memutih. Peluh sudah penuh menghiasi wajah merah Kinzy.

"Iya, sabar ya, sayang. Tinggal satu meter lagi kok."

"Satu meter gigimu! Buruan Arthur!!!" Teriak Kinzy. "Arthur, air ketubannya pecah." Ucap Kinzy yang terdiam seketika lalu kembali berteriak kesakitan.

"Duh anak gue gak sabaran bat dah mau ketemu papanya." Gumam Arthur untuk menenangkan dirinya agar tidak panik.

Arthur semakin mengencangkan laju mobilnya ketika sudah melihat rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, pihak rumah sakit langsung mengangkut Kinzy dengan brankar dan dimasukkan kedalam ruang bersalin.


Sedangkan Arthur menunggu dengan tampang tenang hati gundah luar biasa. Arthur sudah menghubungi para orang tua dan sahabat-sahabatnya

Selama dua puluh menit, Arthur hanya mendengar teriakan Kinzy dengan perasaan was-was. Lalu lima menit kemudian Arthur mendengar suara tangisan bayi dari dalam ruang bersalin. Senyum Arthur mengembang. Pemuda itu medekat ke arah pintu ruang bersalin untuk mendengar suara indah itu. Bersamaan dengan datangnya orang tua Kinzy dan ayah kandung Arthur yang kursi rodanya didorong oleh Haila. Disusul oleh beberapa sahabat Arthur dan Kinzy yang berlari ke arahnya.

"Gimana?" Tanya Key, mamah Kinzy.

"Kayaknya yang lahir masih satu, Mah." Jawab Arthur.

Tiba-tiba pintu bersalin dibuka,

"Pak, pasien membutuhkan, Bapak!" ujar seorang suster yang keluar dari ruang bersalin  kepada Arthur sambil senyum-senyum malu mentap Arthur.

Ya, walaupun si suster sudah tahu kalau Arthur bakal menjadi calon ayah. Yang penting embat aja, soalnya ganteng. Arthur hanya mengangguk dan mengikuti si suster. Di atas ranjang bersalin, Arthur dapat melihat Kinzy masih dnegan wajah merah sambil menjulurkan tangan ke arahnya.

Arthur pun buru-buru menghampiri Kinzy dan segera menggenggam tangan Kinzy yang wanita itu ulurkan. Tangan Kinzy keringat dingin. Itulah yang Arthur rasakan pertama kali, disusul dengan cengkraman keras dari Kinzy.

 Arthur mengusap-usap kepala Kinzy sekedar mengingatkan Kinzy bahwa ia akan terus disini menemani Kinzy hingga selesai. Sekilas, Arthur dapat melihat anak pertamanya yang sudah tenang di gendongan salah satu suster.

Gue udah jadi bapak-bapak batin Arthur haru.

"Kita mulai lagi ya, Bu. Satu, dua, tiga!!!" Seru sang dokter yang menyentakkan Arthur dari lamunannya.

"KYAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!" Kinzy berteriak kencang sambil mencengkram lengan Arthur keras. Arthur shok. Bukan karena cengkraman Kinzy. Tapi karena ini adalah hal ekstrim yang pertama kali ia hadapi selama ia hidup 19 tahun.

"Zy, kamu pasti bisa! Aku percaya sama kamu." Bisik Arthur di telinga Kinzy dengan mata yang berkaca-kaca. Arthur lemah melihat Kinzy seperti ini.

"ARGGGH!!!" Dari teriakan Kinzy, Arthur mencoba untuk membayangkan bagaimana rasa sakit yang sedang dialami istrinya. Tapi tentu saja bayangannya tak bisa mencapai realita yang dialami Kinzy. 

"Kepalanya sudah lolos, Bu. Ayo, sedikit lagi!" Tangan Kinzy berpindah ke telinga Arthur.

Rasa takut Arthur semakin bertambah ketika telinganya ditarik oleh Kinzy. Arthur membatin, setidaknya kalau pun telinga aku putus satu, kamu bisa bangga sama aku, Zy.

"Akhirnya," ujar si dokter sambil mengangkat bayi perempuan lalu memberikannya pada Kinzy.

Kinzy pun langsung menerima bayi untuk kedua kalinya lalu membawa bayi itu kedalam dekapannya. 

Arthur tersenyum, tanpa pemuda itu sadari air matanya telah jatuh membasahi pipinya. Arthur mengusap kepala bayi kecilnya.

Dokter pun mengambil alih bayi kedua tadi sambil menepuk-nepuk bokong si kecil karena suara tangisan masih tak kunjung terdengar. Berbeda dengan bayi perempuan yang pertama, begitu lahir langsung menangis di pelukan Kinzy.

Keadaan sudah mulai hening ketika suara tangis masih belum terdengar.

Air mata Kinzy menetes semakin deras, ia langsung memeluk Arthur erat karena suara si adekan masih belum terdengar. Arthur membalas pelukan Kinzy tidak begitu erat. Arthur masih mencerna semuanya. Arthur mulai terbayang-bayang akan ketengilannya selama ini. Apakah ini karma?

Sekarang bagian dokter yang membersihkan si bayi. Dipukul, dicubit, tidak ada kemajuan. Kinzy masih menangis pilu di depan dada bidang Arthur.

Arthur mulai tersdar. Ini bukan saatnya untuk mengingat kejahilannya di masa lalu. Tapi kini ia harus menenangkan Kinzy. "Tenang dulu, dia pasti bakalan nangis!" Arthur masih menguatkan hati Kinzy.

Dia juga merasakan hal yang sama, tetapi dia menahan air matanya untuk tidak keluar lebih banyak. Bisa-bisa itu hanya akan memperkeruh suasana.

"Arthur, aku gak mau, mending aku aja yang pergi. Jangan dia.. hiks.. hiks..." racau Kinzy perih.

Deg...

Arthur sukses tersentak mendengar ucapan Kinzy barusan. Tidak, ia tidak mau jika Kinzy pergi secepat itu. Ia tak tahu akan jadi apa nantinya jika Kinzy tak bersamanya. Bagaimana juga nanti nasib anak-anaknya? Ia tak mau jika anak-anaknya nanti terlantar.

Hingga ketika bayinya selesai di bersihkan dan sudah berada di dalam bedungan, ia masih belum mau menunjukkan suara tangisnya. 

Arthur tiba-tiba melepaskan pelukannya pada Kinzy dengan lembut. Lalu berjalan ke arah dokter yang masih melakukan banyak hal pada bayinya.

"Saya mau gendong." Ucap Arthur pelan.

Sang dokter pun tersenyum ditengah ketegangannya lalu mengangguk. Arthur pun menerima bayi perempuan keduanya dengan pelan-pelan. Karena ia masih takut kalau ia salah gerak.

"Halo, ini papa." Bisik Arthur pelan. Air mata yang ia tahan untuk kedua kalinya kembali jatuh. "Papa sa--"

"OEEKKK OEEEK!!!" Arthur tersentak ketika bayi yang di gendongannya tiba-tiba menangis dengan snagat keras.

"Arthur!" Lirih Kinzy reflek karena senang mendengar tangisan itu. Kinzy tersenyum haru. Ketika ia bangga akan dirinya yang berhasil melahirkan dua anak perempuan di usianya yang masih menginjak 17 tahun, Kinzy kini lebih bangga pada suaminya, Arthur. 

 Arthur harusnya tahu bahwa ia sudah berhasil membanggakan Kinzy tanpa telinganya hilang satu.

***

Salam,

Kecoamerahmuda.

Bad Boy Is A Good Papa [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon