“Lo ngekost di sini, Jaka? Trus Ambu sama Abah gak marah?”

“Marah sih iya cuman gue udah keduluan ke sini.”

“Kenapa? Gara-gara gue?”

“Nggak, Za. Kenapa jadi gara-gara lo?”

“Iya soalnya dulu lo bilang mau sekolah negeri kan? Bukan swasta kaya SMA Rajawali. Nem lo juga besar daripada gue yang kecil banget.”

Jaka mengendikkan bahunya. “Geer deh lo, Za. Siapa juga yang sekolah di sini karena lo?” Jaka tertawa namun tawanya terasa hambar. Tawa yang muncul karena terpaksa berbohong.

“Eh, Za. Bentar dulu.” Jaka menyuruh Moza berhenti membuat Moza terdiam ketika Jaka menarik tubuhnya mendekat saat berada di tengah lorong. Jaka mendekat lalu mengikat pita Moza menjadi simpul manis membuat Moza mendongak untuk menatapnya. Perempuan yang sedang membawa kotak bekal makanannya itu hanya memperhatikan apa yang dilakukan Jaka. Sama persis dengan apa yang dilakukan Chiko dulu oleh Moza.

“Cewek cantik emang diliat dari wajahnya dan banyak yang suka tapi belum tentu sifatnya baik. Sementara cewek baik udah pasti cantik hatinya. Wajah gak bakalan pernah sama kaya hati,” ucap Jaka dengan jarak yang dekat membuat Moza terpaku beberapa lama.

Chiko yang sejak tadi memperhatikan keduanya hanya berdiam diri. Cowok itu berdiri jauh di lorong depan dengan sepasang pita di tangannya. Pita yang ia beli kemarin malam di dekat rumahnya ketika mengingat Moza saat tak sengaja matanya menangkap pita warna merah muda ini terpajang di depan toko. Tangan Chiko lalu masuk ke dalam saku. Menaruh kembali pita itu ke tempatnya semula. Chiko tidak jadi memberikannya pada Moza. Perasaan marah kini menguasai Chiko membuat Chiko membalikkan badannya dan menjauh.

Chiko cemburu dengan kedekatan Moza dan Jaka.

SIALAN! KENAPA BISA MOZA MEMBUATNYA MERASA BEGINI?!

****

“HABIS DARI MANA KALIAN?!” Bu Rai memarahi Chiko, Ganang dan Ergo yang baru saja tiba di depan kelas.

“Sholat, Bu,” jawab Chiko kalem pada Bu Rai.

“Baru ulangan baru inget sholat! Kemarin-kemarin kemana aja kalian?!” Bu Rai membuat Ganang cengengesan.

“Kita sering kok sholat, Bu! Kita kan anak sholeh semua! Ibu aja yang jarang liatin kita sholat!” ujar Ganang membuat kening Bu Rai berlipat.

“Sering? Iya sering! Dateng aja ke masjid sekolah taunya gak sholat malah asik ngobrol sama maenan wifi sekolah! Taunya malah godain cewek-cewek sambil nyiram-nyiram air ke mereka! Kamu kira saya gak tau kelakuan kalian hah?!” Bu Rai semakin marah membuat ketiga cowok itu tertawa-tawa.

“Yah sekalian cuci matalah, Bu,” kata Ergo tambah membuat Bu Rai kesal.

“Cuci mata! Cuci mata! Pake air kalau cuci mata bukannya pake cewek! Udah sana kalian masuk ke dalam kelas! Gara-gara kalian aja habis waktu mengajar saya, tau?!”

“Lah aneh. Kok jadi nyalahin kita? Salah sendiri,” cibir Chiko sambil masuk ke dalam kelas bersama Ganang dan Ergo.

“CHIKO! LAGI SEKALI KAMU NGOMONG KAYA GITU! KAMU KELUAR GAK USAH IKUT ULANGAN MATA PELAJARAN SAYA!”

“Iya-iya Bu saya salah terus. Emang saya selalu salah. Gak pernah bener,” aku Chiko padanya. Dengan melengos cowok itu masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya.

Dari arah yang sama Bisma dan Frengky berlair-lari di lorong sekolah. “Kalian juga ngapain lari-lari begitu?! Bisma! Frengky!”

“Wih, si Ibu! Bu Rai sodaranya Ade Rai ya?” ucap Frengky mengalihkan pembicaraan membuat Bu Rai memecut alisnya. “Apa Ibu itu Emaknya Ade Rai?”

MOZACHIKOWhere stories live. Discover now