16. TITIK NADIR

308K 29.3K 12.1K
                                    

16. TITIK NADIR

“MOZAAA BAJU LAUNDRY SAYA MANA!” Moza yang sedang melipat baju miliknya di atas kasur pun tersentak kaget lalu dengan tergesa-gesa memasukkan bajunya ke dalam lemari. Teriakan Mama tirinya membuat perempuan itu dengan cepat menutup pintu lemari.

“IYA INI MA! UDAH MOZA AMBIL TADI PAS PULANG SEKOLAH!” Moza membalas dengan sama. Berteriak. Rumah besar ini membuat suaranya bergaung ke mana-mana. Perempuan yang masih diikat dua polos itu mengambil laundry-an Mada dan belarian menuju ke tangga rumah. Ia melihat Mada sedang berkacak pinggang di bawah sana.

“Kamu itu lelet banget sih! Kaya siput! Kenapa nggak kamu taruh di lemari saya?!”

“Maaf, Ma! Moza lupa!” Moza sudah turun. Dengan napas satu-satu perempuan itu tiba di depan Mada. “Ya udah sekarang Moza taruh di kamar Mama!”

Namun, Mada merebut baju yang sudah menjadi satu dalam plastik bening itu dari tangan Moza secara paksa.

“Nggak usah! Kamu itu emang gak becus banget sih kerjanya?! Beruntung juga kamu bisa makan di sini!” Mada terus memarahinya.

“Maaf, Ma! Moza tadi bersih-bersih di kamar.”

“Jangan panggil saya Mama! Nggak sudi!” sudah biasa. Bagi Moza kejadian ini sudah biasa setelah ia tinggal di rumah bagus ini. Moza hanya balas menatapnya. Tidak berniat melawan. Percuma juga Moza melawan. Yang ada ia malah akan dikucilkan nanti.

“Nency mana?” tanya Mada pada Moza.

Moza menggeleng. “Nggak tau, Ma. Mungkin belum pulang sekolah.” Moza melirik jam. Sudah hampir sore namun batang hidung Nency sama sekali tidak terlihat di rumah.

Biasanya setiap pulang sekolah tas, sepatu dan juga kaus kaki Nency berserakan di sofa dan lantai. Sementara yang merapikannya pasti Moza karena Nency selalu langsung tidur setelah pulang sekolah atau mengajak teman-temannya masuk ke dalam kamar jika berkunjung.

“Terus Papa kamu? Katanya dia libur hari ini. Mana? Kenapa nggak ada di rumah?” Mada kembali bertanya membuat Moza menggeleng. Moza benar-benar tidak tahu.

“Moza nggak tau. Mungkin pergi. Tapi mobilnya ada di rumah, Ma.”

“Kamu itu jawab nggak tau! Nggak tau! Jawaban yang lain gak ada?” Mada memperhatikan seisi rumahnya yang sepi. Hanya ada Mada dan dirinya. Mada juga tidak tahu ke mana pasangan suami istri pembantu di rumahnya.

“Tunggu aja, Ma. Ntar Ayah juga pulang.”

“Ya udah!” Mada semakin ketus memperhatikan Moza. “Kamu ngapain masih di sini?! Keluar sana! Atau gak ke kamar kamu! Saya males lihat muka kamu tau nggak?!”

“Ya udah Ma. Moza ke atas dulu.”

“Udah dibilang jangan panggil saya Mama!”

“I—iya Ma....,” ujar Moza gagap. “Maaf.”

“Ya udah! Kamu ngapain masih di sini?!” Mada kembali mengulangi apa yang ia ucapkan tadi pada Moza. “Oh ya inget lagi satu. Jangan ngadu sama Papa kamu.”

“Iya Ma nggak akan. Moza ke atas dulu ya Ma?” merasa tak ada jawaban dari Mada membuat Moza menuju ke kamarnya meninggalkan Mada. Di kamar pekerjaannya belum beres sama sekali. Setelah tiba di kamar Moza menghela napas lesu karena tadi habis menyuci bajunya sendiri.

Moza menutup pintu kamarnya membuat sebuah pigura kecil bergoyang yang membuat Moza tersenyum. Ada wajah Ibunya di pigura kecil itu sedang berdiri sambil menggendongnya saat bayi. Satu-satunya harta berharga Moza yang Moza bawa dari rumah Neneknya. Moza lalu beralih pada hiasan pintunya. Ada tulisan ‘sayang Mama’ di sana yang membuat Moza kembali mengusapnya. Ada perasaan rindu membuncah ketika melihatnya. Kalau saja bukan karena Ayah Ibunya. Moza tidak akan mau tinggal di rumah ini.

MOZACHIKOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang