24. LUKA DAN BUNGA

315K 29.6K 14.4K
                                    

24. LUKA DAN BUNGA

Matahari baru saja keluar dari peraduannya membuat tetes-tetes embun jatuh bergulir di jendela kamar yang sudah terbuka lebar-lebar itu. Aroma segar tanah basah sisa hujan kemarin kembali menyerbak. Angin dingin pagi menyentuh kulit seorang perempuan yang tengah sibuk memasang pita oranye di kuncirannya.

Moza sedang cepat-cepat mengambil tasnya lalu keluar kamar dan turun lewat tangga karena kalau tidak cepat-cepat berangkat ke sekolah. Gerbang sekolahnya akan ditutup. Moza tidak mau berurusan dengan Pak Broto atau Bu Rai pagi ini seperti Chiko dan kawan-kawannya yang suka terlambat. Apalagi Chiko dan Ganang. Langganan terlambat guru BK. Maka tak heran namanya selalu diingat guru BK.

“Kemarin lo pulang sama Chiko?” Nency yang sudah duduk tenang di meja makan bertanya pada Moza. Perempuan yang sedang mengoles selai dengan pisau itu terlihat seperti ingin memakan Moza hidup-hidup dengan tatapannya.

“Lo tuli atau gagu? Kalau gue tanya tuh jawab!” Nency menggebrak meja makan membuat Moza terlonjak tapi perempuan itu masih memperhatikan Nency tanpa berbicara sepatah kata dari bibirnya.

Nency berdiri dan menghampiri Moza. “Semakin gue diemin lo semakin berani ya sama gue? Gue aduin ke Papa lo kalau kemarin lo pulang malem pulangnya sama cowok! Biar tau rasa!”

“Emangnya kenapa kalau gue pulang malem sama cowok? Dia kan cowok gue. Daripada lo sama cowok beda-beda terus pulangnya! Kalau gitu gue bakal bilang kalau yang kemarin ninggalin gue sendirian di sana itu lo ke Ayah!” balas Moza masih kesal dengan malam kemarin membuat Nency mendorong Moza ke belakang dengan pundak kirinya.

“Lama-lama lo ngeselin ya? Udah tinggal di rumah gue, gak bayar, makan gratis, pake baju gue juga dulu! Dasar gak tau terima kasih! Nyesel gue pura-pura seneng di depan Papa pas lo dateng ke sini!”

“Kenapa nyesel? Harusnya lo seneng bisa punya saudara. Lo gak bakal hidup sendiri. Lo bisa curhat sama gue. Saudara itu ada biar lo bisa berbagi cerita. Lo butuh orang lain buat bersosialisasi, Nency. Karena lo gak bisa hidup tanpa orang lain,” ucap Moza.

“Saudaraan sama lo? Duhhh sorry ya! Nggak sudi!” Nency mengibaskan tangannya di depan Moza.

“Gue tau kok Nency sebenernya lo orang baik. Gue berharap banget bisa jadi saudara yang baik buat lo. Gue berharap punya adik yang bisa gue ajak bercanda karena selama ini yang gue tau gue gak punya adik.” Moza tersenyum pada Nency.

Nency meneguk ludah. Kedua tangannya mendingin begitu melihat Moza menampakkan wajah seperti itu padanya. Mengapa Moza masih bisa tersenyum di saat Nency sudah menyakitinya bahkan berbuat jahat padanya?

“Jadi adik lo? Jadi adik cewek kampung, culun, sok baik kaya lo?! Cuih! Males banget!” Nency masih tidak suka pada Moza. Cewek itu bahkan meludahi Moza. Mengikuti logikanya yang berjalan.

“Gue cuman mau jadi saudara yang baik Nency. Kalau lo gak mau juga gak pa-pa. Gue masih bisa jadi saudara yang baik buat lo. Gue cuman berharap nanti kita bisa akur. Gue mau semua keadaan jadi baik-baik aja.”

“Nggak ada yang baik-baik aja.” Nency menggelengkan kepalanya, ironi.

Setelah Moza tinggal di sini. Semua orang jadi menyukai Moza. Meskipun masih ada Mada yang menyayangi Nency tapi tetap saja. Nency tidak suka Moza mendapat perhatian lebih darinya.

“Lo mau semuanya baik-baik aja? Pergi dari sini dan balik ke rumah lo!”

“Kenapa?” tanya Moza mencoba menahan lengkungan di bibirnya meski Nency tidak tahu seberapa kuat Moza harus menahannya.

“Karena gue gak suka sama lo!” hardik Nency. “Gue udah bilang! Lo itu perusak semuanya Moza! Semenjak lo tinggal di sini semua keadaan jadi berubah!”

MOZACHIKOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang