"Ente gak papa kan, Gus?"
"InsyaAllah, lebih baik kita ke Rumah Sakit terdekat, Gus. Mereka butuh penanganan dokter," Gus Auva membuka pintu belakang menyuruhku masuk
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Aku menatap kedua sahabatku secara bergantian. Alhamdulillah Zahra masih dalam keadaan sadar, sedangkan Alisa keadaan nya semakin buruk menurut ku. Tapi ku coba menghapus hal-hal yang bisa membuat otakku semakin pusing.
Jangan tanyakan keadaanku, Aku baik. Sangat baik. Hanya pipiku saja yang merah, meskipun sangat sakit tapi aku mencoba untuk baik-baik saja.Zahra membisik padaku, amat pelan. Suaranya bergetar. Aku tau, Ia merasa tertekan pun ketakutan.
"Semua udah terjadi, kita cuma bisa memperbaiki," Aku berbisik
Mata itu menatap kami dari spion dalam, menatap terlalu lama, terlampau intens. Aku hanya mampu memandangi seperlunya. Mata coklat itu, sepertinya bukan menatap kami, namun lebih pada Zahra. Rasanya begitu, tapi entahlah
"Ini semua terlalu buruk," suaranya menggema, membuat kesunyian di mobil mulai pudar
Aku terbatuk mendengarkan perkataannya. Iya, ini terlalu buruk. Terlalu melampaui batas. Keterlaluan.
"Sudahlah, mereka akan mendapat hukuman nanti. Kau jangan khawatir, Gus. Fokus saja pada jalanmu," Gus Auva tampak menjadi penengah
Hukuman? Hm, Aku tidak akan mengeluh, tidak pula kabur, Aku akan ikhlas menerima itu. Entah rasanya, ada segudang dosa di lubuk hatiku. Dosa yang harus di sucikan, hingga ketenangan ada pada hidupku.
*****
Author POV
Ruang Bugenfil sudah ditempati dua pasien, keduanya sama memiliki luka yang tidak terlalu parah. Tapi tidak bisa diabaikan.
"Bagaimana dengan keadaan Alisa?" Tanya Neng Ayun penuh dengan kekhawatiran
Gus Auva mengulas senyum tipis, "Lumayan parah, Kak."
Terdengar nafas berat dari Neng Ayun dan Bunda. "Kita kabari keluarga mereka besok, saja. Ini sudah terlalu malam."
Di ranjang selatan, Ira mendengar semua percakapan mereka. Masih dalam keadaan mata tertutup, sesekali mengintip apa yang terjadi di ruang ini. Air matanya menetes, rasa bersalah nya semakin menyesakkan dada, Ia memang tidak tau malu. Sudah dikasihani, sudah di lindungi, sudah di anggap keluarga sendiri tapi malah meludahi. Ira membuat nama pesantren nya menjadi taruhan, nama baik yang sudah di jaga para leluhur keluarga Auva.
"Bunda..." Panggil Ira pelan namun masih dapat di dengar oleh mereka
"Ira? Nak kamu sudah sadar?"
Ira mengangguk, sebelum menyampaikan permintaan maafnya, entah ada apa bibirnya benar terasa kilu. Jantung nya juga berdetak lebih kencang dari biasanya
"Bunda maafkan, Ira."
Kalimat itu berhasil keluar dari mulut Ira dengan susah payah. Maaf saja tidak cukup, Ra. Seandainya malam itu tidak kamu rubah menjadi malam yang buruk. Air mata Bunda tidak akan disini.
Bunda tersenyum berat, "Iya, sudahlah. Bunda tau kalian belum bisa menerima pesantren sebagi rumah kalian."
"Jangan pikirkan itu dulu, Ra. Bunda tau kamu pasti mau meminta Bunda buat gak kasih tau kabar ini ke rumahmu 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Illahi
SpiritualDi pertemukannya kita adalah jalan indah dari sang Pencipta agar aku lebih mengenal-Nya. #98 In Spiritual (29.03.18) #93 In spiritual (06.07.19)