Bab 21| Wanita Krudung Maroon

1.4K 91 7
                                    


"Mau bahas apa, mam?" Rafi bertanya

"Mau bahas hadiah buat Rara dong!" Ira cengar-cengir seraya mengerjap genit.

"Ada yang lebih penting dari hadiah, sayang. Kita pulang dulu, ya?" Ajak Mama dengan lembut. Ira dan Rafi hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.

Sesampainya mereka di rumah, Ira bergegas menujukamar. Membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.

Di dalam kamar Ira masih bergumam, entah apa. Yang jelas ia sendiri tidak mengerti dengan sikap Mama nya. Sejak pagi lebih banyak diam dan tersenyum. Saat Ira bertanya ada apa, Mama nya malah mengarahkan pada hal lain.

"Udahlah, mungkin Mama lagi kepikiran Papa. Hari ini kan Papa nginap."

Setelah selesai membersihkan diri, Ia turun ke ruang keluarga.

Indra penglihatan nya menangkap suasana berbeda. Tidak ada lagi senyum, tawa, nan bahagia. Kini hanya tinggal luka lara. Tapi biarlah, setidaknya wanita tanpa sayapnya itu tidak lagi melamun, menangis, dan menyalahkan diri sendiri. Mama sudah terbiasa dengan suasana rumah tanpa Papa. Mama nya adalah ibu sekaligus ayah di mata Ira.

"Ekhem... Lama ya? Maaf." Ira datang dengan tawa garingnya.

Rafi menatapnya tajam, Ira cuek saja. Barangkali abang nya ini sedang badmood . Abangnya ini terbilang labil bagi Ira.

"Mam? Mau ngapain sih? Kok pada diam?" Tanya Ira heran.

Meskipun sejujurnya Ia tidak ingin bertanya dan memilih mendingin. Namun apa dayanya? Jika Mama nya selalu berpesan jangan benci Papa mu hanya karena hal ini. Ira muak. Selalu itu kata-kata Mama nya setiap Malam. Ia hanya memakai topeng di depan Mama nya. Berpura-pura tidak membenci, padahal hati nya sangat membenci. Ia tidak peduli tentang noda di dalam hatinya, yang ia pedulikan hanya hati Mama nya.

Fahmu membisik kan sesuatu kepada Ira. Hingga membuatnya melongo tidak mengerti.

"Kata Mama, aku bakal punya dua bidadari lho."

Ira menaikkan kedua alisnya, alih-alih menjawab Fahmi malah menyengir.

"Itu dia kak!" Seru Fahmi.

"Eh? Udah lama nunggu ya? Maaf mbak." Kata Dinda kepada Raya.

Raya tersenyum maklum. "Nggak papa, ayok duduk!"

"Fi, Ra, Fahmi... cantik kan tante ini?" Tanya Mama

"Biasa aja, bagi Rafi. Mama yang paling cantik."

"Halah kamu ini bisa aja. Mama udah keriput gini dibilang cantik." Mama malu-malu.

"Mam? Cantik itu dari hati. Hati mama selalu mendahulukan kebahagian orang lain dari pada kebahagiaan Mama sendiri. Mama the best  pokoknya."

"Aku setuju sama Kak Rafi. Mama selalu aja biarin orang lain nyakitin Mama. Mama nggak peduli sama hidupnya lho tan. Mama selalu mikirin anaknya. Mama itu hebat, selain menjadi Ibu  juga bisa jadi Ayah." Ira sengaja menekan kalimat terkahirnya. Hanya ingin menyindiri Papa nya.

"Udah ah! Kalin ini."

"Tante ini nama nya Tante Dinda. Mulai hari ini Tante Dinda bakal tinggal sama kita."

Dinda? Nama itu familiar . Batin Ira.

"Emang suaminya dimana? Nggak ikut Tan?" Ira heran. Perempuan ini perutnya sudah buncit. Hampir 8 bulan mungkin.

"Suami saya..." Ucapnya mengantung. Pandangannya menunduk menahan rasa sakit hatinya.

"Suami lu udah beristri dan beranak tiga? Lu datang sebagai pelakor?" Nada bicara Rafi dingin. Menyayat hati Mama, papa, dan Dinda tanpa Rafi sadari.

Mengejar Cinta IllahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang